4: Medecine

56 5 5
                                    

"Mereka bakal dateng!" Seru Nawa yang baru membaca pesan di ponselnya. "Mereka bakal dateng! Mereka bakal dateng!"

Riri tersenyum sambil menatap seruan gadis berjilbab itu. Tanpa mereka sadari bahwa seruan Nawa mengundang atensi semua orang di ruangan itu.

Tidak begitu banyak orang di sini. Hanya 2 orang security, 3 apoteker, 1 dokter umum, 1 dokter gigi dan sepasang suami istri. Bau obat-obatan khas apotek itu mulai akrab di hidung kedua gadis SMA itu. Ruangan yang terasa cukup sejuk, belum mampu membuat 11 orang dapat duduk nyaman di dalam sana. Perasaan tegang dan tidak tenang lah yang justru mendominasi pikiran mereka.

Takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Perasaan tidak nyaman mulai mendekap tubuh mereka semua. Bahkan salah satu security itu sempat berdebat dengan sepasang suami istri itu karena seorang anak kecil yang mencoba masuk. Keduaanya ingin membawa masuk, tapi melihat perawakannya yang tidak normal memicu perdebatan panas tadi.

"Siapa yang bakal dateng? Polisi? Ambulans? Siapa?" tanya umum itu.

"Temen kita!" Seru Nawa. "Mereka berempat! Abil, Bian, Nayara, Letta! Mereka masih hidup! Mereka selamat dari sekolah!"

Tatapan penuh harap dokter itu berubah menjadi tatapan kecewa. Tubuhnya melemas. Tidak ada harapan. Apakah mereka akan tewas di sini? Bagaimana dengan kedua jagoan kecil dan suaminya? Bagaimana dengan Ibunya?

"4 orang? Cewek semua?" tanya security itu.

"Iya! 4 orang, cewek semua. Mereka bawa motor kok! Sebentar lagi mereka nyampe." 

Security itu menoleh ke belakang menatap temannya yang duduk di belakang dengan raut frustasi. Si temannya itu bertanya, "Mereka emang bersih?"

Nawa diam. Ia ingin menjawab iya dengan yakin, tapi ia juga takut kalau-kalau teman-temannya itu datang dengan jumlah yang kurang.

"Iya, mereka bersih." Bukannya Nawa, melainkan Riri yang menjawab pertanyaan itu dengan lantang. "Abil Bian sabuk hitam, dan Nayara Letta ... aku yakin mereka bisa jaga diri, apa lagi ada Abil sama Bian di sana. Aku jamin, mereka bersih."

Pria berkulit coklat yang tengah duduk berseragam security itu hendak kembali berbicara tapi suara seorang pria memotongnya. Pria yang sama yang berdebat dengan temannya tadi.

"Gak! Gak ada jaminan mereka udah digigit atau belum. Reaksi virus itu lama, gimana kalau temen kamu pura-pura bersih sementara nanti berubah di dalam sini. Gak! Jangan ada yang masuk lagi."

Tatapan terkejut dan kecewa terpancar dari mata kedua gadis SMA itu. 

"Gimana kalau mereka memang bersih tapi ketahan di depan sana karena om? Ketika mereka digigit, itu bikin zombi ada di depan pintu dan kita gak akan bisa keluar untu sewaktu-waktu."

"Biarin aja! Gak ada yang akan keluar-masuk di sini. Mereka keluar? Maka keluarlah! Jangan berharap masuk lagi ke sini."

"Om egois tau gak?" kesal Nawa sambil menatap ke arah pria berkepala 4 itu dengan mata memerah.

"Egois untuk menyelamatkan nyawa saya dan istri saya? Bukan masalah. Jangan jadi tolol untuk teman."

Nawa meremas ujung pakaiannya. Menahan amarah hingga akhirnya ia hanya bisa menangis. Teman-temannya sedang dalam bahaya di luar sana! Tanpa makanan, tanpa obat-obatan, tanpa senjata. Mereka di luar sana dengan bebas, mudah bagi mereka untuk mati. Mereka hanya anak SMA yang bahkan belum punya KTP. Mereka masih anak-anak. Sama sepertinya dan Riri.

Kenapa Tuhan selalu menempatkannya di situasi seperti ini? Ia selalu berusaha menyelamatkan orang-orang yang ia sayangi. Tapi kenapa selalu berakhir sama? Selalu ia berakhir kalah dan gagal. Memangnya kesalahan apa yang Nawa perbuat sampai doa-doanya yang itu sulit terkabul? Apa yang harus Nawa lakukan lagi agar ia bisa menyelamatkan teman-temannya yang terancam mati?

How To SurviveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang