"Sekarang kita harus gimana?"
Seluruh perhatian tertuju pada Riri. Abil menatap ke arah luar, mengecek motornya kalau-kalau aerox hitam itu terjatuh. Ia menghembuskan napasnya saat motor yang besar dan berat itu masih berdiri rapi. Tapi berbanding terbalik dengan motor Nayara yang sudah terjatuh.
"Kita nginep dulu sampai besok." Ujar Abil sambil menatap ke arah teman-temannya. "Nginep dulu, kita istirahat. Baru nanti aku kasih tau kita harus apa."
Letta membuka mulut hendak mengeluh, tapi Nayara yang peka langsung menepuk temannya. "Aduh!"
"Di lantai atas, ada beberapa kasur, karpet dan sofa kok. Kita bisa tidur di sana," tutur dokter gigi sebagai pemilik apotek.
Senyum mereka merekah, mengucap terima kasih. Mereka mulai memaksakan diri untuk beradaptasi. Berdamai dengan ketegangan meski rasanya masih sulit. Beberapa kali mereka melamun ke arah pintu. Tatapan kosong, sakit kepala dengan perasaan tidak nyaman. Beberapa dari keenam gadis itu telah melepas seragam atasan mereka, menyisakan kaos dan rok abu-abu.
Abil dan Nawa sudah naik ke lantai atas. Katanya mereka ingin lepas kerudung. Sementara keempat temannya yang tidak memakai kerudung masih duduk di bawah dengan rambut diikat dan tatapan kosong. Mereka mau pulang.
"Asli Le, aing lebih milih dimarahin mama kayak kemarin dari pada kayak gini. Stres cok," tutur Bian.
"Kalo kata Nayara mah, takdir. Apa yang ada, emang buat kita. Maneh pasti kuat, pasti bisa lah! Cetek ini mah cetek!"
Dengan pandangan kosong, Nayara membentuk hati di tangannya sambil digerakkan maju-mundur sebagai bentuk bahwa ia setuju. Bian tersenyum miring, dasar!
Nayara melihat dokter umum, dan seorang apoteker perempuan berjalan ke lantai 2, sepertinya mereka juga ingin istirahat. Sementara Riri yang melihat dokter gigi dan seorang apoteker perempuan lainnya membawa gelas ke dapur, membuat dirinya tergerak untuk ikut membantu.
"Biar saya bantu tante."
"Eh gak usah."
"Gak apa-apa tante."
Menyisakan sapasang security, sepasang suami istri, seorang apoteker pria, dan tiga orang siswi SMA.
Mata Letta menangkap salah satu security yang tadi sempat berkelahi dengan om Bima. Pria tinggi, berkulit putih, rambut lurus, alis tebal dengan senyum manis. Juga nama yang dibordir di atas saku seragamnya, Adimas Satya.
Pipi gadis itu bersemu. Letta menoleh pada sahabatnya, mata mereka bertemu dan tawa mereka bertabrakan. Adimas memang objek yang cukup menarik.
"Naya iih."
"Kamu juga ya!"
Sementara Bian hanya melirik temannya sebelum kembali menatap lurus ke luar. Lalu habis ini apa?
"Kang, hehe boleh kenalan gak? Aku Letta, ini Nayara, ini Bian."
Dua gadis itu menoleh cepat. Sialan! Apa-apaan ini? Mereka tidak pernah ada niatan untuk berkenalan.
Kedua security itu tersenyum ramah dan mengangguk. Security dengan kulit sedikit gelap langsung menyodorkan tangannya. "Aku Dimas, panggil kang Dimas juga gak apa-apa."
"Yeuu!" Ledek Adim.
Letta menjabat tangan Dimas. "Sebelumnya makasih ya, kang Adim, kang Dimas udah bantu kita buat masuk tadi."
"Ah santai aja neng! Bukan apa-apa itu mah," balas Dimas.
Adim menggeleng, "Maaf ya kalian tadi harus sampai ngelawan zombie itu sendirian, kita gak bisa bantu, kita harusnya lindungi kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive
ActionLetta, Nayara, Bian, Abil, Riri, Azura, dan Nawa. 7 siswa putri yang terkenal di sekolah mereka dengan sejuta bakat sejak awal masuk kelas 10. Mereka pikir kehidupan SMA mereka akan mulus dan dikagumi oleh adik kelas. Lulus SMA dengan nilai besar, k...