Riri meremat rok abu-abunya yang dinodai cipratan darah yang mengering. Jantungnya berdebar kala Bian duduk di hadapannya dengan tatapan bingung. Pikiran gadis Sulawesi itu bercampur aduk. Apakah pilihannya ini benar atau tidak? Apakah ini akan menciptakan perpecahan? Apakah perselisihan da keegoisan mereka semua akan muncul jika ia melakukan ini? Apakah ia akan dikhianati?
"Kenapa, Ri?" Letta melontarkan pertanyaan itu yang membuat Riri reflek menggerakkan kakinya gelisah.
Nawa menyadari hal itu, tangannya mengusap lutut Riri dan merangkul sahabatnya itu. Seolah paham apa yang ada di dalam kepala Riri. "Gak apa-apa kok."
Riri tersenyum canggung sambil mengangguk ragu. Ia menghembuskan napasnya lalu menegapkan bahu. "Sebenarnya aku ... tadi sempet dikasih tau sama salah satu tentara. Dia bisik-bisik terus ngasih aku ini." Riri menyibakkan roknya dan terdapat dua buah pistol di kedua pahanya yang direkatkan dengan lakban.
Mata mereka semua terbelalak melihat kedua senjata api itu. Paha Riri? Pistol? Baiklah ternyata para tentara itu tidak seburuk itu, karena jika dipikir-pikir gagang sapu tidak sekuat pistol. Tapi pistol jauh lebih berbahaya, apa lagi di antara mereka tidak ada yang bisa menggunakan alat itu. Jika salah sedikit, bisa saja mereka yang terluka, cacat, atau bahkan mati.
Riri menarik kedua senjata api itu dan menaruhnya di atas meja. Gadis dengan kuncir kuda itu lalu membuka tasnya dan menunjukkan 2 kantung berukuran sedang. Dibukanya kantung itu membuat jantung mereka semua berdebar. Amunisi.
Mereka benar-benar akan menggunakan ini? Bahkan di dompet mereka hanya ada sebuah kartu pelajar, pengecualian untuk Abil yang satu-satunya memiliki ATM di sini.
Bian menyenderkan punggungnya saat rasa sakit mulai menjalar ke kepalanya. Sementara Abil mendekatkan tubuhnya ke arah pistol dengan kedua sikunya bertumpu pada kedua lututnya. Otak jenius kedua gadis itu bekerja cukup keras dan cepat. Neuron keduanya bekerja menjelajah semua kemunginan, peluang, resiko, semuanya. Hingga kepala mereka sampai di titik Abil tersenyum miring, dan mata Bian terbelalak.
"OH!"
Keduanya saling menoleh kaget.
"Sok, maneh dulu," Bian mempersilahkan.
"Ini ada berapa peluru? Kita tes nembak, kalo bisa setiap orang dapet 3 peluru. 2 orang yang paling bisa nguasain, itu yang pegang pistol."
Bian tersenyum miring, "Baru aja aing mau ngusulin itu."
Keempat gadis itu saling melemparkan tatapan ragu. Letta terlihat antusias meski sebenarnya ia tidak paham seberbahaya apa senjata itu. Letta menatap ke arah Abil. "Mau kapan? Kita tunggu Azura?"
Abil menggeleng, "Setahu aku ayahnya hobi berburu binatang di hutan, pasti dia dapet senjata dari Ayahnya buat bertahan."
"Tapi mau di mana? Di sini terlalu bahaya," ujar Nama.
"Liat aja nanti, aku tanya ke Azura."
Paham. Akhirnya mereka memilih beristirahat. Nayara langsung membaringkan tubuhnya di atas sofa. Nawa bangkit untuk membersihkan tubuhnya, Riri merapikan makanan dan obat-obatan, Letta sibuk dengan ponselnya sementara Abil dan Bian berjalan ke dekat jendela menatap ke luar.
"Kalau pintu itu akhirnya berhasil didobrak sama mereka, kita gimana?"
Abil menoleh, "Tinggal kabur."
"Kalau kita lagi tidur?"
"Kalo mereka sampai ada yang kena, ya udah pada mati mah, mati aja. Kita tinggal kabur. Kalo kamu bisa."
Bian melirik Abil sekilas, tangan gadis itu terkepal. "Maksud maneh ninggalin mereka?" Abil mengangguk membuat kepala dan dada Bian memanas. "Apa sih anjing, aing gak seegois maneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive
ActionLetta, Nayara, Bian, Abil, Riri, Azura, dan Nawa. 7 siswa putri yang terkenal di sekolah mereka dengan sejuta bakat sejak awal masuk kelas 10. Mereka pikir kehidupan SMA mereka akan mulus dan dikagumi oleh adik kelas. Lulus SMA dengan nilai besar, k...