13: Dying

15 5 3
                                    

Letta, gadis riang itu menyadari ada sesuatu yang janggal dari Nayara. Tapi ia memilih untuk diam. Ruang tamu terasa canggung ketika mereka semua berkumpul dan tanpa percakapan seperti biasannya.

Bahkan yang berani mengangkat dagu mereka saja tidak semua. Mayoritas memilih untuk menunduk dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Letta tidak paham apa yang dilihat teman-temannya sementara sinyal sudah sangat sulit saat ini.

Nawa menyentuh paha Bian saat Riri hendak membuka suaranya dengan ragu. Kecanggungan mereka berganti dengan tekanan ketika Riri memberitahu bahwa persediaan makanan mereka hanya sampai 3 hari ke depan.

"Terkecuali, kita gak makan malam dan gak sarapan. Itu kayaknya cukup buat seminggu," jelas Riri dengan logatnya yang khas.

Mereka semua saling melemparkan tatap satu sama lain. Bingung.

"Sehari makan 3 kali aja dikit banget jatahnya. Ini mau makan sehari sekali?" keluh Letta.

"Iya makanya, terus kita mau gimana?" Riri tampak semakin frustasi sebagai penanggungjawab persediaan makanan.

Nawa menggeleng. "Aku gak bisa makan sehari sekali."

Bian yang tadinya acuh seketika runtuh ketika mengingat temannya yang keturunan Arab itu memiliki masalah lambung. Gerd yang Nawa miliki memang sudah parah. Bahkan untuk makan es krim saja ia sudah dilarang. Gadis basket itu mengusap wajahnya frustasi.

Sementara Abil tanpa sadar menggigiti pipi dalamnya. Ide yang ia miliki terlalu beresiko. Alis gadis itu terangkat. Terserah!

Seluruh perhatian mereka teralihkan pada Azura yang menghela napasnya. Suasana seketika menegang. Bukan karena helaan napas Azura, tapi karena mata gadis itu yang tertuju ke arah pintu toilet.

Letta menggeleng takut. Ia tahu ada ide gila di dalam kepala Azura.

"Di hari terakhir." Azura menatap teman-temannya. "Kita buka pintunya."

Ruangan itu membeku untuk beberapa saat. Kalimat Azura terdengar sangat tidak masuk akal. Hanya ada tatapan tidak percaya ke arah Azura.

"Ra."

"Ra jangan gila!"

"Enggak. Aku gak setuju."

Riri menggeleng.

Sementara Abil tersenyum. Bagaimana bisa ia dan Azura memiliki ide yang sama? Abil merasa ide gilanya tervalidasi. Ia dan Azura tidak gila. Mereka hanya dapat memikirkan ide paling beresiko di tengah keadaan genting seperti ini.

"Terus apa? Mau beberapa orang keluar buat nyari makan?" Azura berdecih. "Jadi makanan yang ada."

"Terus maksud kamu pintunya dibuka apa, Ra?" tanya Nayara.

Azura tersenyum di sini, "Sisa waktu kita tinggal 3 hari lagi kan? Aku mau selama 2 hari kita amati orang tua aku lewat 3 lubang itu selama 24 jam. Simpan informasi sedetail dan segak penting apapun. Dengan bekal itu, kita uji coba dengan buka pintunya. Berhasil bunuh mereka? Kita pergi hari itu juga."

"Waduh!"

Mereka semua menghela napas berat dan mencoba berpikir. Ingin menolak, tapi rencana Azura tidak salah. Itu bekal. Ingin menolak, tapi tidak ada rencana lain yang terpikirkan. Ingin menolak, tapi bagaimana kedepannya?

"Takut," cicit Nawa. "Takut kalau kita gak bisa ngebunuh Alexnya dan kita mati di sini."

Pro dan kontra ribut di kepala mereka. Rasanya beban terasa semakin berat. Kapan ini akan selesai? Hening dan canggung kembali menyelimuti mereka. Tapi jika tidak hening, mereka tidak akan bisa berpikir dengan waras. Di tengah setiap keputusan selalu mempertaruhkan nyawa.

How To SurviveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang