21: Boom Bomb

16 5 2
                                    

13 orang itu duduk melingkar di lantai. Ali duduk dengan balutan perban pada tangan dan tubuhnya. Membuatnya tak bisa memakai kaos saat ini. Bahkan tangan kanannya menjadi tumpuan tubuhnya selama duduk. Merinding tubuhnya saat menaruh tangan kirinya di atas paha. "Tinggal 3 jari yang tersisa." Keringat dingin muncul dari punggung. Kedua mata itu  ia paksakan untuk mendongak lurus, menatap dengan tajam, Ali mencoba untuk menghirukan kecacatannya. Seolah tidak ada yang pernah terjadi. Jantungnya berdebar. Seolah ia tidak merasa takut, seolah ia tidak masalah dengan jari-jarinya yang putus, seolah ia tidak pernah ingin meraung, menghancurkan barang-barang di sekitarnya, menyakiti orang-orang untuk menunjukkan bahwa Ali tidak terima jarinya menjadi korban dalam perlawanannya tadi malam. "Tenang." Ali menarik napas panjang, memejamkan mata.

Napas dihembuskan, dan pandangannya kini hanya setengah. Dika hanya bisa melihat dari tengah sampai ujung sisi kanannya. Mata kanannya menatap kedua mata Gara, panas mengerubuni dadanya. Ia tidak terima bagaimana laki-laki di hadapannya begitu rupawan, begitu sempurna, begitu dikagumi para gadis. Sementara Dika? Bahkan hingga saat ini Dika tidak bisa melirik dengan ekor mata kirinya. Dunianya lebih sempit dari teman-temannya. Dika kacau. Pikirannya tiba-tiba kalang kabut, Dika cacat. 

Matanya bergerak cepat mencari Abil. Abil tidak ada! Dika tidak bisa melihat Abil! Dika harus bertemu Abil! Di mana Abil? Dika butuh gadis yang menemaninya selama operasi itu! Dika panik, kepalanya bergerak hingga mendapati Abil di sisi kirinya, terhalang Jo. Mata kanannya memanas, Dika tidak bisa melihat Abil, karena terhalang Jo. Dika mencoba mengatur napasnya agar tenang di tengah hati dan pikirannya kian kalang kabut. Dika bisa saja saat ini bangkit dan berlutut sambil menangis di hadapan Abil. Meminta untuk dipeluk. Tapi ego dan gengsinya lebih besar dari rasa takutnya. Dadanya kembang kempis. Seperti yang dikatakan Abil tadi pagi, tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Dika masih bisa melihat. Setidaknya mata Dika masih ada satu lagi, kan?

Mengingat itu justru membuat tubuh Dika mendidih. Rasanya ingin berteriak, "TAPI HANYA AKU SIALAN!! HANYA AKU YANG PUNYA SATU MATA!!"

Dika meremas ujung kaosnya sambil memejamkan matanya erat-erat. Dan air mata keluar membasahi pipi kanannya. Hanya di pipi kanan. 

Mata itu memutar malas ketika Nayara memergoki Gara sudah menatapnya lebih dulu. Astaga! Bisakah laki-laki ini berhenti menatapnya terang-terangan seperti ini? Nayara menggenggam tangan Letta dan menaruh kepalanya di bahu sahabatnya itu, berlindung. Seolah berkata pada Gara, "berani macam-macam? Lewati Letta lebih dulu, Gara."

"Assalamualaikum, siang semuanya. Aku mau bahas soal zombie besar yang semalam, setelah sekian lama kita menetap di sini akhirnya ruang itu terpakai lagi. Mata dia udah kebuka sejak jam 5 subuh tadi, untungnya keadaan dia gak memungkinkan untuk ngapa-ngapain. Eh iya, buat yang cewek-cewek mungkin gak tau, tubuhnya saat ini ada di lantai 7. Ruang bekas radio. Rencananya besok kita coba potong setengah tubuhnya, kita liat apakah dia masih bisa hidup sampai berapa lama, setelah itu baru kita coba potong sampai leher. Apakah dia masih bisa hidup hanya dengan kepala? Kalau iya, berarti teori zombie dengan level itu benar adanya. Paling yang jadi catatan itu, kita coba cari alat untuk cabut giginya."

"Cabut gigi?" Bian bersuara.

"Jaga-jaga aja, aku gak mau kalau dia bisa bertahan hidup hanya dengan kepala, dia bisa menggunakan giginya sebagai senjata."

Saat Bian hendak membuka mulutnya suara keras ledakan mengejutkan mereka semua. Gara, Jo dan laki-laki bermotor itu langsung bangkit hendak mengambil tas besar di pojok ruangan, Zian bangkit menghampiri laptopnya, dan para gadis itu bangkit menuju jendela penasaran. 

Dapat gadis-gadis itu lihat asap pekat dari jauh, dan sesuatu menyala di 1 titik.

"Ini udah dimulai?" kaget Nawa.

How To SurviveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang