Tatapan keenamnya kosong. Kaki mereka melangkah mendekati tas sambil merapikan barang-barang mereka yang dibongkar tadi dengan tubuh lemas. Semakin Abil berpikir, semakin kepalanya terasa memanas. Bibirnya memang senyap tapi sumpah serapah sudah tercetus ribuan kali di kepalanya sejak beberapa senapan itu ditodongkan ke arah Bian.
Mata Nawa sudah memanas sambil memasukan obat-obatan satu persatu ke dalam tas. Ia meremas salah satu seragam sebelum memasukkannya dan menyeleting tas itu dengan kasar. Dasar tentara brengsek! Di mana hati dan otaknya? Gadis berjilbab itu menggertakkan giginya. Ia tidak pernah berpikiran buruk. Tapi baru kali ini ia membayangkan agar para pria bertubuh besar dengan seragam itu mendapatkan balasan yang lebih buruk dari virus ini.
"Sekarang kita harus gimana?"
Pandangan teman-temannya tertuju ke arah Letta. Leher lemas mereka membuat mereka bergerak dengan pelan dan lambat. Nayara paham bagaimana hancurnya kepala dan hati teman-temannya. Gadis berambut lurus itu menepuk bahu sahabatnya.
"Kita ke rumah Azura sekarang." Bian menjadi pusat perhatian. "Komplek Azura belum didatengin tentara setahu urang. Mereka kirim data file di SMS, daerah mana aja yang udah didatengin tentara."
Letta menghela napasnya. Ia sedikit tidak percaya dengan SMS semenjak kejadian tadi. Untuk apa gunanya tentara jika akhirnya mereka hanya melindungi, bukannya menyelamatkan mereka justru baru saja menodongan anak SMA 5 senapan!
"Gimana kalo kayak gini lagi?" akhirnya Nayara menunjukkan kekhawatirannya dengan sebuah pertanyaan.
"Bundir aja lah anjing, capek aing!" celetuk Letta.
"Kamu weh sendiri," timpal Abil sambil mendekati motornya.
"Pun kalau ada apa-apa, ada aing. Maneh gak akan mati," Bian menepuk bahu Nayara sebelum menaiki motor Abil.
Letta menepuk bahu Nayara. "Ayo Nay berangkat, nanti keburu abdi negara nembak mati kita di sini."
"Anjing!" Nayar melotot ke arah Letta.
"Apa?"
"Le, stop ngomong kayak gitu anjir!" Kesal Abil.
"Cium dulu, baru diem."
Bian dan Abil mengepalkan tangan mereka menahan untuk tidak memukul Letta. Sialan! Bagaimana bisa mereka bisa kuat bertahan jika memiliki regu sejenis Letta?
Nayara menaiki motornya. Ketika mereka semua siap, akhirnya mereka berangkat dengan kecepatan di atas rata-rata. Tanpa tongkat, tanpa senjata. Hanya tekad, harapan dan motor.
Mereka berusaha mengedepankan nyali. Terutama Nawa dan Riri yang duduk di depan, lebih dekat dengan para Alex. Sisa-sisa tubuh para Alex itu berceceran di mana-mana. Menahan bau amis yang tercium semakin pekat. Nayara dan Abil mengeraskan rahang mereka menahan mual. Abil beberapa kali menggeleng kasar, mencoba menepis bau amis yang kian menyapa hidungnya. Gadis kuat itu memang sering menonton film sadis, tapi saat ia dihadapkan dengan ribuan liter darah, ia juga akan menggertakkan giginya.
Seperti yang sering dikatakan Papa dan kedua abangnya, "Tahan Abil. Gak usah banyak ngeluh kamu, berisik."
Nawa menaruh dagunya di atas motor. Gadis manis itu memang tidak banyak bicara. Tapi hati dan kepalanya sejak tadi telah berperang hebat. Air matanya masih terus membasahi pipinya. Ia benci menjadi yang paling sensitif, tapi tidak bisa berbohong kalau Nawa memang belum bisa menerima keadaan saat ini. Bagaimana jika ternyata komplek Azura sudah didatangi tentara? Bagaimana jika hari ini ada yang mati di antara mereka? Bagaimana mereka bertahan di keadaan seperti ini tanpa orang dewasa dan basic skill untuk bertarung?
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive
ActionLetta, Nayara, Bian, Abil, Riri, Azura, dan Nawa. 7 siswa putri yang terkenal di sekolah mereka dengan sejuta bakat sejak awal masuk kelas 10. Mereka pikir kehidupan SMA mereka akan mulus dan dikagumi oleh adik kelas. Lulus SMA dengan nilai besar, k...