10

10 0 0
                                    

Belum setahun setelah keguguran di kehamilannya yang pertama, Murti kembali hamil. Tak ingin terjadi seperti kehamilannya yang pertama itu Murti dan Muhtar lebih berhati-hati. Menjaga agar hati tetap tenang dan ikhlas agar janinnya tetap kuat, itu prioritas utama.

Tapi ujian datang lagi ….

Sepulang dari belanja di warung di dalam gang seberang rumah, tiba-tiba saja ada kucing yang berlari sangat kencang karena dikejar kucing lain. Kucing yang dikejar nyaris menubruk kaki Murti. Kucingnya terkejut dan Murti juga terkejut sedikit melompat menghindar tetapi menjadi limbung dan akhirnya jatuh terduduk. Tidak keras. 

Hati Murti menjadi gelisah. Ia khawatir akan terjadi sesuatu dengan kandungannya. Sepanjang jalan pulang Murti berdoa memohon keselamatan janinnya. 

Malam berlalu aman. Hati Murti tenang. Tapi sesudah shalat Subuh Murti merasakan sakit di perutnya, perut bagian bawah. Cepat-cepat Muhtar membawa Murti ke rumah sakit langsung ke UGD persalinan. Lagi-lagi Muhtar tidak boleh masuk. Ia menunggu di luar dengan cemas.

Dokter keluar dan menyampaikan berita duka. Sejak dari rumah dalam perjalanan ke rumah sakit hati Muhtar sudah tidak enak. Tapi berita duka yang disampaikan dokter tetap saja seperti mendengar petir di pagi hari tanpa hujan.

Segera Muhtar mengurus administrasi rawat inap untuk Murti.

Tak hentinya air mata Murti terus mengalir. Sedih, sesal, marah mengaduk-aduk perasaan Murti. 

Sedih karena kehilangan calon anaknya. Sesal karena hanya kaget begitu saja, gara-gara kucing lari kencang dikejar kucing lain saja, kok ya bisa limbung dan jatuh. Betapa lemahnya dia. Marah, marah kepada takdir buruk yang menimpanya. Dulu kehilangan Ilham, lalu kehilangan calon bayinya yang pertama, sekarang kehilangan lagi calon bayinya yang kedua.

Selalu kehilangan ….

Muhtar pun terus berusaha menguatkan batin Murti.

Tak ada yang perlu disesalkan. 

"Kasihan kucingnya ya.. jadi sasaran sesal kamu, Murti," kata Muhtar berusaha mengajak Murti memberinya iba pada kucing yang tidak bersalah sama sekali.

"Iya, mas, gara-gara kucing itu," kata Murti sambil menyeka air matanya dengan tisu.

"Kucingnya juga kaget bertemu dengan kamu," Muhtar mengajaknya tersenyum. Murti diam saja.

"Pokoknya aku benci kucing itu!" Kata Murti ketus.

"Ih, istriku," kata Muhtar sambil mencubit lembut puncak hidung Murti, Murti melengos kesal.

"Kucing itu lagi lari ketakutan karena dikejar kucing lain. Pasti dia sangat ketakutan karena larinya kencang sekali, kan?"

"Mas, kenapa ya Allah memberi kejadian-kejadian buruk terus sama aku?" Tanya Murti.

"Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Inget Murti, buruk menurut kita tapi ternyata itu baik menurut Allah," kata Muhtar tegas.

"Berarti Allah itu jahat dong. Mas," sahut Murti seenaknya.

"Astaghfirullah. Murti tetap berbaik sangkalah kita kepada Allah! Istighfar Murti, Istighfar!" lalu Muhtar membimbing Murti unfuk terus beristighfar.

Murti menangis lebih kencang menyesali karena telah berburuk sangka kepada Allah.

DIa yang mencipfakan, Dia juga dong yang berhak mengambilnya kembali. Apa hak dan kuasa kita? Bukankah kita ini hanya ciptaanNya.

—---

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan Murti mengkonsentrasikan diri pada kuliahnya. 

Ia harus selesai tepat waktu dengan nilai yang baik. Hanya tinggal beberapa mata kuliah lalu menyelesaikan tugas akhir maka kuliahnya selesai sudah. Murti belajar dengan lebih keras. Dengan cara ini Murti bisa dengan cepat melupakan kesedihan dan trauma pasca dua kali keguguran.

—--

Saat menyusun tugas akhir Murti merasakan tanda-tanda kehamilan lagi. Ia merasakan perutnya semakin membesar, pay*dar*nya mengeras dan ia sering mual dan muntah. Herannya ia masih haid.

Akhirnya Muhtar mengantarkan Murti memeriksakan ke dokter Lita, dokter kandungan langganan mereka.

Dokter Lita melakukan USG dan mendapati bahwa tidak ada embrio dalam rahim Murti. Rahimnya kosong. Dokter Lita memutuskan mesti dilakukan operasi untuk membersihkan rahim Murti. Jika tidak segera dioperasi dikhawatirkan akan bisa membahayakan ibunya.

Sekarang Murti sudah berada di kamar rawat inapnya. Muhtar menutup semua tirai yang membatasi dengan pasien lain untuk memberi privacy pada mereka berdua.

"Mas, aku kenapa, ya? Apa ada yang salah dengan diriku sehingga tiga kali aku mengalami hal buruk begini?" Tanya Murti lirih di ruang rawat inap setelah tadi siang dokter melakukan operasi. Muhtar yang duduk di kursi di samping tempat tidur Murti memandang iba wajah istrinya.

"Ini bukan hal buruk, sayang. Aku kan pernah bilang dan kita ini kan orang beriman, buruk itu kata kita tetapi pasti baik kata Allah. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik buat hamba-hambaNYA, termasuk buat kita, kita ini kan hamba Allah. Sebaiknya kita tetap berbaik sangka sama Allah," kata Muhtar lembut. Digenggamnya tangan Murti.

"Tuhan masih menguji iman kita, Murti. Kita putus asa nggak? Ingat Murti, Kasib Sayang Allah itu jauh lebih dahsyat daripada azabNya. Kita harus yakin itu. Kita harus kuat dan tetap menyandarkan kesedihan kita hanya pada Allah. Kita perbanyak istighfar dan dzikir kita kepada Allah," lanjut Muhtar sambil melakukan pijatan ringan di lengan Murti yang bebas jarum infus untuk memberi ketenangan pada jiwa dan batin Murti.

Sungguh Muhtar bisa ikut merasakan beban berat yang mesti Murti tanggung. Muhtar tak ingin Murti menanggungnya sendiri. Beban fisik dan beban batin. 

"Allah memberi cobaan dan ujian hanya kepada hambaNYA yang mampu menghadapinya. Jadi In Syaa Allah kita berdua ini mampu menghadapi cobaan demi cobaan ini. Begitu ya sayangku," lanjut Muhtar sambil tangan kirinya membelai lembut puncak kepala Murti dan dengan ibu jarinya menghapus air mata Murti yang terus mengalir.

Berulang-ulang Murti meminta maaf pada suaminya. Sebagai seorang calon ibu yang tidak bisa mempertahankan kehamilannya, Murti merasa gagal. Ia sangat kecewa dan sedih.

Muhtar memeluk tubuh istrinya yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Badan Murti bergetar karena tangisnya. Dipeluk suaminya seperti itu membuat tangis Murti semakin kencang.

"Ssst… ssst… sssst…. Nggak papa Murti, nggak papa. Menangislah. Puaskan tangismu," bisik Muhtar di telinga Murti berusaha menenangkan Murti.

—-

Di tengah cobaan demi cobaan yang Murti alami, akhirnya Murti bisa menyelesaikan studinya tepat waktu.

Tidak ada keberhasilan yang diraih sendirian. Pasti ada orang lain di sekitarnya yang membantu keberhasilan seseorang.

Suami yang mendukung sepenuhnya kegiatan istri, seperti Muhtar. He is the best husband, kata Murti.

Ibu yang selalu penuh pengertian dan mendoakan kebaikan-kebaikan buat putrinya, seperti Ibu Latifah.

Supir yang siap mengantar kemana pun Murti pergi dan melayani semua urusan Murti, seperti pak Sarjo.

Mertua yang penuh pengertian dan menganggap menantu adalah anak sendiri, seperti Ibu dan Bapak Subondo.

Pastinya karena campur tangan Allah pada keberhasilan studi Murti.

Murti mensyukuri semua itu.



( Lanjut ya ke eps. 11 )


KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang