Author's Note:
Happy reading!
Jangan lupa tekan tombol ✰⋆。‧˚ʚ🍓ɞ˚‧。⋆
“Kita mau kemana kas?”
“Yas, sorry banget gue gak bisa nganterin lo sampai rumah. Gak apa-apa kan dianterin sopir gue?”
Air muka Yasmin terlihat kendur namun tak lama ia kembali memaksa dirinya tetap tersenyum.
“It's oke, gak apa-apa gak usah dianterin!”
“Sopir gue udah menuju ke sini kok, biar dia yang anterin lo ya? Sekali lagi gue minta maaf banget gak bisa nganterin lo pulang.”
“Udah santai aja kali Kas.” Bibirnya tersenyum tipis.
Isi kepala gue berisik dengan banyaknya pertanyaan. Nyatanya raga gue bersama Yasmin sedangkan pikiran gue jauh melayang ke tempat Adit saat ini.
Ketika kami berdua menunggu dan saling diam, sopir gue pun datang menepikan mobil di depan kami berdua. Sebenarnya gue merasa tak enak meninggalkan Yasmin seperti ini, padahal gue yang memaksanya datang ke acara ini. Tapi justru gue yang meninggalkannya dan pulang bersama sopir.
“Pak, saya titip ya! Tolong antar sampai rumahnya dengan selamat!”
Sopir gue mengangguk patuh seraya mengacungkan jempol tangannya. Gue membukakan pintu dan Yasmin masuk segera.
“Sekali lagi gue minta maaf ya Yas?” Ulang gue merasa tak enak hati.
“It's oke, santai aja kali Kas. Gue pulang ya!”
Yasmin masih menunjukkan senyumnya, meskipun dalam hatinya mungkin sedikit kecewa terhadap gue. Tangannya melambai ketika mesin mobil mulai dinyalakan. Gue hanya termenung sambil menunggunya benar-benar pergi.
Mobil yang ditumpangi Yasmin pun pergi, disusul gue yang berlawanan arah. Alamat yang diberikan Adit asing sekali sehingga gue menyalakan maps menuju lokasi tersebut. Pikiran gue tidak bisa fokus sekali. Otak gue carut marut memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Di setiap tarikan nafas rasanya seperti disayat perih bukan main. Akhirnya kasus Zeva perlahan menemukan titik terang. Keluarga gue tidak ada yang tahu mengenai informasi terbaru ini.
Angin malam berhasil menyapu seluruh bagian wajah gue yang baru saja turun dari mobil. Pandangan pun langsung tertuju pada sosok jangkung memakai topi baseball hitam yang sudah berdiri menanti kedatangan gue. Senyum hangat yang biasanya dia tampakkan tak muncul malam ini. Gue paham betul perasaan kami malam ini sama-sama kalut dibendung kecemasan.
“Gē!”
“Dimana orangnya?” Gue langsung berjalan mendahuluinya.
“Tapi sebelum kita ke sana, tolong jangan memaksanya untuk menceritakan semuanya sekarang.” Henti Adit membuat langkah gue ikut terhenti berbalik menatapnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muffazan
RomanceSejauh apapun kaki melangkah pergi, suatu hari pasti akan pulang. Pulang yang hakikat sebenarnya adalah kembali kepada Sang Pencipta. Hanya karena satu cahaya dari sorot mata seorang hamba-Nya mampu mengoyak habis dinding keimanan.