13. Dream

96 10 2
                                    

Rumah besar sudah pasti ramai! Begitulah seharusnya. Namun, tak terpampang jelas dari Mansion yang ada didepan mata Aamon kini. Sepi, bak sebuah rumah kosong yang dihuni oleh para mahluk halus.

Aamon mendengus kasar, irisnya memperhatikan rumah yang sudah lama tidak ia tinggali itu. Hari sudah sore dan Aamon kini berada tepat di area parkir mobil. Kakinya terasa berat untuk melangkah lebih masuk kedalam. Rasa sesak menghampiri Aamon ketika bayangan masa lalu tiba-tiba saja menggerogoti pikirannya. Pening ia rasa dan juga Aamon merasa ingin pergi jauh dari tempat itu.

Akan tetapi, seulas senyuman Floryn, senarai kata-kata Floryn menghentikan niatnya. Bayang-bayangan Floryn yang menyemangatinya, membuat Aamon kembali menetapkan hatinya untuk tetap akan masuk kedalam. Kendati demikian ia akan merasa lebih sakit dan bakal terbayang semua kenangan itu, pun akan ia coba hadapi dengan lapang dada serta menerima semua kenyataan yang ada.

Aamon menghembuskan nafasnya perlahan lantas menatap lekat pada pintu besar yang berada didepan matanya kini. "Aku harus menghadapi semua ini!" Gumamnya, lalu langkah tegapnya itu pun kembali bergerak menuju lebih dalam kearea masa lalunya.
                         
                               °°°°
Titisan air berjatuhan membasahi sebagian leher beserta pundak kekar Aamon. Pria itu baru saja membersihkan dirinya usai sedikit bebersih rumahnya. Walaupun tadi ia sempat menyewa cleaning service namun tetap saja ia masih sedikit merapikan barang-barang dirumahnya, terutama barangnya Gusion yang ia bawa dari rumah sakit.

Aamon menatap pantulan dirinya pada cermin besar yang ada di kamarnya. Tubuhnya kini hanya bertelanjang dada dengan handuk yang melingkari pinggangnya, serta rambut senada saljunya yang masih basah itupun ia gosokkan dengan handuk kering.

Aamon tersenyum miring, ia akui jika dirinya itu memanglah tampan rupawan. Namun, masih tak mampu menggaet hati gadis pujaannya. Teringat akan penolakan Floryn padanya, membuat Aamon terkekeh kecil lantas membaringkan asal tubuhnya diatas kasur.

"Floryn..."

Iris Cyannya itu menelisik ke seluruh sudut kamarnya. Tidak ada yang berubah, masih dengan suasana hangat seperti dulu. Aamon memang belum terbiasa dengan semua ini, tetapi ia akan terus berusaha agar menerima semua masa lalunya dengan kata-kata Floryn sebagai pondasinya.

"Floryn..." Gumamnya untuk kedua kalinya. Entahlah Aamon rasa ia rindu pada gadis mungil tersebut. Rindu akan senyum hangat si gadis yang bisa meluluhkan hati dingin Aamon.

"Apa yang dia lakukan sekarang, ya?"

"Apa dia sudah tidur?"

"Apa Floryn sudah meminum obatnya?"

"Ah, apakah dia.... memikirkan aku juga?"

Rasa kantuk perlahan merajai diri Aamon, hingga ia pun tanpa sadar menutup matanya serta bersiap menuju ilusi mimpi.
.
.
.
.
.
"Aamon...," Terdengar suara samar-samar  merambah ke pendengarannya.

"Aamon, bangun!"

"Aamon!"

Suara itu berulang kali memanggil namanya, memicu kembali kesadarannya. Pelan-pelan kelopak matanya terbuka, menyajikan manik dengan butiran warna Cyan yang bercahaya.

Pria berumur 27 tahun itu terbangun disebuah ladang bunga diatas tebing tinggi. Semilir angin menyapu permukaan wajahnya selagi dia mengumpulkan sebagian kesadarannya. Aamon bangkit duduk dari rebahannya lantas menilik kesamping tempat sosok yang sudah sedari tadi berada disana.

Sosok indah baginya itu tersenyum manis dengan bingkaian biru safirnya yang sedikit menyipit. "Aamon," panggilnya penuh keceriaan.

Aamon membalas tersenyum lalu membelai halus rambut cerah senada buah persik tersebut. "Hmm ada apa Floryn?"

Flowers In Winter ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang