Aku sampai di sebuah kedai naengmyeon yang letaknya ada di dalam gang kecil dekat dengan area distrik kantor lamaku. Aku dan Wook janjian pukul delapan setelah ia pulang kerja. Kuputuskan untuk pergi naik taksi saja karena tidak mau repot menyetir dan mencari tempat parkir.Aku ingat pernah makan di sini dengan Wook pada musim panas tahun lalu. Kami pulang cukup larut kala itu karena kami minum cukup banyak dalam rangka perayaan promosinya.
Betapa ironisnya kami yang sekarang kembali lagi kesini dengan kondisiku yang seperti ini. Tapi jika kupikir lagi, sama halnya dengan sesuatu yang membahagiakan, sah-sah saja untuk merayakan kesedihan atau kegagalan. Tidak ada aturannya kan?
Wook sudah menungguku di meja pojok dekat jendela. Ketika aku muncul dari balik pintu, ia melambaikan tangannya ke arahku sambil menyunggingkan senyum cerianya yang khas. Aku menghampirinya lalu duduk di depannya.
Kondisi kedai tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung saja. Mungkin karena musim panas baru saja dimulai. Saat terakhir kami kesini, kedai benar-benar penuh karena itu adalah minggu puncak musim panas.
Tidak ada apa pun di meja, tanda ia belum memesan apa pun. Belum sempat aku menyapanya, ia telah lebih dulu mengangkat tangan dan memanggil sajangnim pemilik kedai untuk memesan dua botol soju.
"Kau mau makan apa? Naengmyeon?" Tawarnya padaku. Aku baru akan mengangguk, namun ia telah lebih dulu malanjutkan, "Naengmyeon dua!" Serunya pada pemilik kedai.
Pemilik kedai langsung mengantarkan dua botol soju dan dua gelas sloki ke meja kami sambil mengatakan untuk menunggu hingga naengmyeon selesai dibuat.
Wook membuka botol soju dan hendak menuangkannya ke gelasku. Dengan cepat aku menahannya. Dia mungkin menyadari gesturku yang merasa tidak enak.
Dia mengibaskan tangannya sembari berdecak. "Hey, sudahlah santai saja, aku juga sudah bukan seniormu lagi."
Aku tertawa canggung, namun tak ayal tetap mengangkat gelasku menyambutnya. Aku meminumnya dengan sekali teguk. Aku meringis merasakan sensasi pahit getir saat itu mengalir di kerongkongan, er—namun after taste-nya cukup manis.
Dia juga menuang sendiri untuknya dan menenggaknya dengan sekali teguk, lalu mengerang membuat suara khas yang orang-orang biasa lakukan ketika mereka minikmati minumannya. Tipikal orang Korea.
Tiba-tiba saja ia memegang pundak kananku. "Tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan, oke?"
Aku tersenyum kecut. Aku tahu konteks pembicaraannya. Tapi jujur saja, aku memang merasa baik-baik saja lebih dari yang kukira.
Ia menarik tangannya dari pundakku lalu menuangkan soju ke gelasku dan miliknya. Ia mengangkat gelasnya, memberikan isyarat agar aku mengikutinya. "Aku akan menemanimu mabuk sampai kau merasa lebih baik, oke?" Ucapnya bersemangat. Aku mengangguk, kami bersulang.
Sajangnim datang membawa pesanan kami. Tidak ada yang berubah sama sekali dari cara penyajiannya, tetap otentik dan sederhana, namun tetap terlihat menggugah selera.
Rasanya tentu saja sangat enak. Itu adalah alasan mengapa walau pun ini hanya kedai kecil yang lokasinya tidak strategis, tapi dapat menarik banyak pengunjung.
Wook segera mengangkat sumpitnya. "Cepat makan! Kalau esnya mencair, rasa kuahnya akan semakin hambar."
Aku memang cukup lapar, maka aku juga segera memakannya. Mengambil satu suapan penuh, aku menyeruputnya. Sensasi dingin di kerongkongan menetralkan rasa panas dari alkohol.
"Maaf aku tidak langsung menghubungimu begitu mendengar beritanya," Katanya tiba-tiba. Aku mendongak ke arahnya. "Saat itu aku sedang dinas ke luar kota."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] F/3.9 Aperture
RomanceStarring: Kim Mingyu, Miyawaki Sakura Just like an aperture in a camera, there's no default or the exact standard to make a perfect setting. You have to measure it and decide how much light you need for one shot. Unfortunately, they did mistakenly o...