Do I look that obvious?

90 15 2
                                    


Malam tadi tiba-tiba saja San mengirimiku pesan. Isinya adalah pertanyaan seputar Namsan Park. Dugaanku alasannya bertanya pasti karena sehabis mencari tahu di internet. Ujungnya berakhir menjadi kami yang jadi sudah bersiap-siap pagi-pagi sekali untuk pergi kesana.

Saat baru saja membuka pintu, San juga baru saja keluar dari unitnya. Kami saling melempar senyum ketika akhirnya melihat satu sama lain.

Aku sempat terpana beberapa detik, mengagumi penampilannya yang terlihat sangat cantik dengan rambut diikat satu. Baggy shorts warna khaki dengan atasan kemeja crop lengan panjang warna hijau army, lalu boots warna hitam. Sangat cocok dengan tema kegiatan yang akan kami lakukan hari ini. Sementara aku? Hanya kaos polo putih dengan baggy jeans dan sneakers putih biasa.

Selain itu, terdapat tas ransel khusus kamera dengan dua kompartemen yang dengan santai ia pikul di pundak sebelah kanannya.

Aku mengerutkan keningku sebab penasaran dengan seberapa banyak perlengkapan yang ia bawa. Sementara aku hanya mengalungkan satu pouch kamera di leher dan tas bahu berukuran sedang untuk menyimpan dompet, ponsel, dan air mineral saja.

Kami langsung berjalan menuju lift dengan aku yang masih memandangi tas ranselnya. Sepertinya ia menyadari arah tatapanku dan langsung menatapku heran. "Apa ada sesuatu?" Tanyanya.

Alih-alih menjawab, aku memilih menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi kepalaku. "Apakah berat?"

Alisnya sempat bertaut sebelum akhirnya ia menyadari maksudku. "Oh..." ia menggeleng, "...tidak, kok."

Tapi, aku tidak percaya. Kuambil strap ransel dari bahunya lalu dengan santai menaruhnya di pundakku. Ternyata, itu memang ringan.

Ia terkesiap. "Kyu-ssi—" belum sempat ia melanjutkan ucapannya, aku mempercepat langkahku berjalan mendahuluinya, tidak ingin mendengar bentuk komplain apa pun darinya.

Aku mendengar ia mengejarku di belakang. Tanpa sadar kedua sudut bibirku sudah tertarik lebar sekali. Tak berapa lama setelah aku sampai di depan pintu lift, ia menyusul.

Dia sudah ingin sekali menyemburkan berbagai macam kalimat sebelum aku mengangkat tanganku lebih dulu untuk mencegahnya. "Tidak apa-apa." Kataku.

"Tapi—" pintu lift yang terbuka memotong kalimatnya. Aku mengulum senyum lalu melangkah masuk. Pada akhirnya ia juga ikut tersenyum, tanda menyerah.

Rencananya kami akan pergi dengan mobil. Sebenarnya, jarak ke Namsan Park cukup dekat. Itu bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi, kami akan mampir ke beberapa toko kamera untuk membeli roll film terlebih dahulu.

Ketika sampai di parkiran, aku langsung menyuruhnya masuk terlebih dahulu selagi aku menaruh semua bawaan kami di pintu belakang. Setelah selesai, aku langsung duduk di balik kemudi. Kulihat ia bahkan sudah memakai sabuk pengaman. Melihatnya membuatku tersenyum. Entahlah, melihatnya duduk di sebelahku membuat perasaan menyenangkan aneh yang tak bisa kujelaskan.

Kami berkendara dalam diam. Ia bahkan tidak memalingkan pandangan sedikit pun dari jendela hingga kami sampai di area pertokoan. Setelah memarkirkan mobil, kami masih harus berjalan jauh ke dalam karena letak tokonya yang berada di gang kecil di belakang gedung-gedung pertokoan besar ini.

Saat sampai, kami disambut nuansa kuno yang kental dari bangunan toko yang didominasi oleh kayu—yang kutebak habis dicat ulang. Warna cokelatnya terlihat menyala terang. Jendela besarnya membuat siapa pun di luar dapat melihat langsung isi toko.

Gerakanku mendorong pintu membuat bunyi gemerincing lonceng yang membuat penjaga toko langsung menoleh ke arah kami. Namun, kupikir dia terlalu tua untuk menjaga toko. Jadi, aku menduga bahwa dia adalah pemilik toko yang juga sekaligus menjaga langsung tokonya.

[COMPLETED] F/3.9 ApertureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang