Akhirnya kami sampai ke dekat jalur pendakian. Pohon-pohon pinus itu berada sedikit di atas bukit. Karena agak sulit untuk naik, kami memutuskan untuk tetap berada di bawah lereng. Terdapat aliran sungai kecil di sepanjang lereng yang membatasi hamparan rumput dimana kami berpijak dengan bukit landai itu.Jika dilihat dari bawah sini, kupikir ini adalah spot yang cukup baik. Batang pohon pinus yang menjulang tinggi jadi bisa kami amati dengan sempurna dari sudut ini.
Kupikir San akan langsung berkomentar sesuatu ketika ia melihat deretan pohon pinus itu, tapi ternyata ia hanya diam saja.
Ia lebih memilih untuk membuka ranselnya lalu mengeluarkan alas kain dari sana. Melihatnya membentangkan kain itu membuatku dengan sigap membantunya. Setelah itu terbentang dengan sempurna, San melepas sepatunya dan duduk di atas kain, aku mengikutinya.
Selanjutnya San mengeluarkan beberapa kamera dari dalam kompartemen dan mengecek sesuatu, seperti sedang menimbang kamera mana dulu yang akan ia pakai.
Karena penasaran, aku bertanya. "Apakah kau akan memakai semuanya?"
Ia mengangguk singkat. "Um," gumamnya, masih tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari kamera-kamera itu.
Akhirnya San mendongak. "Kau tertarik mencoba salah satunya?" Aku tentu saja langsung mengangguk semangat mengiyakannya.
Ia menyuruhku untuk memilih satu dan pilihanku jatuh pada kamera single-lens reflex-nya. Tentu saja karena itu lebih mudah dan mirip dengan cara pakai kamera DSLR yang lebih familier denganku.
Sekarang kami berdua berbagi tugas untuk memasang film ke masing-masing kamera. Rata-rata film yang kami beli adalah film dengan ISO rendah—mengingat semua aktivitas yang akan kami dilakukan di luar ruangan dengan penerangan yang memadai.
San mulai dengan kamera kompak. Setelah memutar film, ia mulai membidik. Setelah objek terkunci, ia tanpa ragu menekan tombol rana dan suara jepretan gambar pun terdengar. Sayangnya aku tidak dapat langsung melihat hasilnya, padahal aku sangat penasaran.
Ia lanjut memotret lagi, tampak tidak terganggu sama sekali dengan hal lain. Baru kali ini aku benar-benar bisa menyaksikannya melakukan pekerjaannya secara langsung. Dia terlihat sangat keren saat sedang serius. Baiklah, aku juga harus fokus. Aku juga pergi untuk bekerja, bukan untuk memandanginya.
Kuposisikan kamera dalam posisi portrait, kubidik tiga pohon pinus yang berjejer berdekatan dengan tinggi sama, lalu kupastikan agar keseluruhan bagian pohon dari pangkal batang hingga puncak dahannya terlihat di dalam frame. Setelah posisinya pas, kuambil gambarnya dengan cepat.
Di sisi kanan dari arah pandangku, terdapat deretan pohon pinus dengan tinggi yang menyerupai anak tangga. Itu pasti akan terlihat bagus untuk difoto. Kuambil gambarnya dengan dua posisi berbeda, portrait dan landscape.
Sementara itu sepertinya San sudah menghabiskan satu roll film karena ia sudah menggulungnya dan menaruhnya ke dalam tube. Ia mengambil spidol dari dalam ransel dan menuliskan sesuatu di sana yang kuyakin adalah sebagai penanda.
Sisa filmku pun tinggal sedikit, hanya tersisa dua. Setelah menghabiskannya, aku mengikuti apa yang baru saja ia lakukan. Setelah melihat dengan jelas apa yang tertulis di tabung, aku menyalinnya sama persis, kecuali pada bagian keterangan tipe kamera (tanggal-jenis film-tipe kamera).
Lalu kami berdua berpindah pada kamera lain. Setelah selesai menyeting, kami kembali fokus memotret, begitu seterusnya hingga kami benar-benar memakai semua kamera yang ia bawa.
Ia mengecek satu-persatu tabung sebelum menyusunnya dengan rapi ke dalam ransel, sementara aku membantunya menaruh kembali semua kamera ke tempatnya seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] F/3.9 Aperture
RomanceStarring: Kim Mingyu, Miyawaki Sakura Just like an aperture in a camera, there's no default or the exact standard to make a perfect setting. You have to measure it and decide how much light you need for one shot. Unfortunately, they did mistakenly o...