A face as calm as the night.

120 14 3
                                    

San's Special PoV

Baru saja masuk ke dalam unit, kata-kata yang pria itu ucapkan kemarin malam tiba-tiba saja terngiang di kepalaku.

"San-ssi, kau tidak bosan kan bertemu denganku terus-menerus seperti ini?"

Aku tahu dengan jelas bahwa dia hanya bercanda saja ketika mengatakannya. Awalnya, kupikir bertemu dengannya setiap hari bukanlah masalah besar, tapi ternyata aku salah.

Itu—adalah hubungan terlama dan terintens yang pernah kubangun dengan seseorang. Aku telah cukup lama menikmati kesendirianku dan tidak pernah ingin repot-repot untuk terhubung begitu dekat dengan orang lain karena—kupikir, itu melelahkan.

Anehnya, sejak bertemu pertama kali dengan pria itu dan mulai mengenal satu sama lain, aku tidak merasa kewalahan. Namun, akhir-akhir ini aku jadi memikirkan ulang beberapa hal.

Setiap kali selesai menghabiskan hari bersamanya, hatiku terasa penuh. Terkadang aku heran tentang ia yang terlihat tidak pernah menetapkan batasan-batasan dalam interaksi kami. Membuatku yang juga jadi sering kali melupakan batasan-batasan yang telah kubuat, tapi lalu jadi berpikir kalau semuanya jadi terasa lebih alami dan melegakan.

Aku mandi dan makan dengan pikiran mengawang. Saat sudah siap untuk tidur, aku terkejut mendapati jam yang menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Itu... masih sangat sore. Sebenarnya—tidak ada yang salah dari pergi tidur dengan cepat, tapi aku khawatir akan terbangun di tengah malam dan jadi berakhir tidak bisa tidur hingga pagi. Jadi, aku menahan diri sebentar lagi.

Karena tidak tahu harus melakukan apa, aku memutuskan untuk pergi keluar bersamaan dengan suara gerimis yang menarik perhatianku. Sepertinya, kita telah sampai pada minggu-minggu hujan musim panas.

Baru keluar dari pintu, aku sudah disambut oleh terpaan angin malam yang terasa sedikit lembab berkat tercampur dengan tetesan hujan.

Aku bersandar di balkon, mengamati percikan air yang turun dari atap. Itu terjadi begitu saja, pikiran-pikiran di kepalaku mengambil alih. Rasanya sibuk sekali sampai-sampai aku tidak sadar apa yang sebenarnya aku pikirkan—hingga suara langkah kaki seseorang dan gemeresak kantong plastik mengalihkanku.

Aku menoleh dan mendapati pria itu tengah berjalan mendekat sambil menenteng sesuatu di tangannya. "San-ssi, apa yang kau lakukan di luar?" Tanyanya.

Aku refleks tersenyum. Entahlah, tiap kali melihat pria itu, aku beberapa kali mendapati diriku banyak tersenyum. "Oh, aku hanya sedang mencari udara segar." Kataku, sambil lalu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Hujan bertambah deras, kami berdua menoleh ke luar balkon untuk sama-sama mengamati aliran air hujan yang bertambah kencang.

"San-ssi, apakah kau mau minum denganku?" Tawarnya tiba-tiba.

Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi bukannya menggeleng, aku malah mengangguk. Ketika menangkap wajah riangnya saat ia berjalan mendahuluiku untuk masuk, aku yang tadinya merasa setengah hati, jadi mulai luluh.

Tidak apa, lagi pula ini tidak buruk. Setelah minum sebentar, aku akan pulang dan poin tambahnya, aku jadi bisa tidur lebih nyenyak.

Aroma khas ruang tengahnya selalu berhasil membuatku tenang ketika menghirupnya. Aku tidak tahu pasti itu apa, tapi sepertinya itu adalah jenis kayu-kayuan beraroma lembut. Wanginya persis seperti pria itu.

Dia memintaku menunggu selagi pamit untuk berganti baju. Aku terlalu fokus mengamati rak berisi koleksi kameranya sehingga tidak tahu kalau ternyata dia sudah selesai dan sekarang tengah ada di dapur.

Pria itu menawariku camilan, tapi aku menolaknya.

Dia datang membawa dua botol soju dan bir serta dua buah gelas. Karena melihatnya duduk di bawah, aku mengikutinya.

[COMPLETED] F/3.9 ApertureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang