A nice friend is better than a nice weather.

96 14 0
                                    


Suara denting notifikasi pesan yang masuk ke ponselku berhasil membuatku terbangun dari tidur menyakitkanku di atas sofa. Aku bahkan sedikit terkejut ketika mataku membuka dengan sempurna yang disusul oleh rasa pegal di tengkukku. Aku bangkit mengambil posisi duduk, melakukan sedikit peregangan, dan mengumpulkan kesadaranku.

Kupikir aku tidur cukup pulas, namun aku terbangun lebih dulu dari pada suara alarm. Aku mencoba mengingat bagaimana aku tertidur semalam karena seingatku aku masih sibuk membaca hingga—baiklah, itu pasti terjadi begitu saja sebab ensiklopedia yang tergeletak di lantai menjawab pertanyaanku.

Kalau kalian penasaran, ensiklopedia ini tidak selengkap itu. Ada puluhan ribu spesies pohon di muka bumi ini dan akan butuh waktu sangat lama untuk kami membacanya. Jadi, tentu saja isinya hanya memuat jenis pohon yang ada di Korea. Itu pun dengan highlight spesies endemik. Tetap saja sih, itu sudah cukup untuk membuatku menyerah membacanya.

Dedikasi gadis itu dalam melakukan pekerjaannya membuatku kagum. Caranya sedikit merepotkan, tapi juga terasa unik dan menyenangkan. Kapan lagi kau akan mempelajari keanekaragaman hayati sembari menjadi seorang fotografer? Itu tidak pernah terpikirkan sedikit pun di kepalaku karena keduanya merupakan hal yang tidak ada kaitannya sama sekali, kecuali secara kebetulan kau juga adalah seseorang yang suka belajar tentang dendrologi.

Aku meraih buku itu dan menaruhnya di atas meja. Kemudian aku beralih ke ponselku untuk melihat waktu. Mataku melebar melihat nama gadis itu muncul di layar utama. Dia mengirimiku pesan.

Aku segera membuka dan membacanya dengan hati-hati. Ketika aku menangkap kata maaf di awal kalimat, aku sudah tahu ini tidak akan berakhir baik. Benar, dia bilang bahwa dia punya urusan lain hari ini dan lupa memberitahuku kemarin. Lucunya, dia menulis kata maaf dua kali karena telah melakukan dua kesalahan itu. Aku tertawa sebab itu sangat spesifik.

Namun, sepertinya itu ada benarnya. Satu kata maaf untuk satu kesalahan yang kita buat. Itu akan jadi tidak adil jika seseorang telah melakukan banyak kesalahan padamu namun pada akhirnya dia hanya meminta maaf satu kali saja. Apakah aku terdengar seperti orang yang tidak pemaaf? Tentu saja aku tidak sekejam itu. Maksudku—yah, kalian pasti mengerti kan?

Aku membalas pesannya dengan kalimat seadanya. Sejujurnya aku merasa sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu dengannya lagi hari ini. Akhir-akhir ini entah mengapa aku selalu membiarkan sisi perasaku mengambil alih kendali terlalu banyak, bahkan secara terang-terangan menunjukkannya.

Masalahku tidak hanya sampai di situ saja. Sekarang aku harus berpikir apa yang akan kulakukan untuk menghabiskan hari ini? Kualihkan tatapanku pada buku tebal itu. Oh, tidak, sepertinya aku harus menjauhinya setidaknya selama beberapa jam kedepan. Mataku sudah cukup memandangi tulisan panjang dengan banyak istilah bahasa latin yang tidak kumengerti itu.

Aku berjalan ke dapur untuk meminum segelas air putih. Sambil meneguk air, aku berbalik untuk mengamati kondisi ruang tengahku dari sini. Itu masih cukup rapih walaupun aku yakin debu tipis sudah mulai terlihat di permukaan. Maka, kuputuskan untuk menghabiskan waktuku dengan bersih-bersih saja.

Setelah sarapan cepat dengan sereal dan susu, aku langsung menuju ruang penyimpanan untuk mengambil pembersih debu dan kain microfiber yang masih bersih, serta kemoceng. Tidak lupa juga dengan peralatan pembersih kaca.

Aku mulai dengan membersihkan bidang permukaan yang besar seperti dinding dan pintu dengan kemoceng. Saat sampai pada jendela utama, kucopot tirainya dan membungkusnya kedalam plastik. Aku berencana untuk membawanya ke penatu.

Kubersihkan debu-debu yang menempel pada kaca dan seluruh bagian jendela dengan kemoceng. Setelah debu hilang, kusemprotkan kaca dengan cairan pembersih khusus dan mengelapnya dengan wiper. Aku puas dengan hasilnya yang mengkilat.

[COMPLETED] F/3.9 ApertureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang