Oak trees vs. Pine trees

112 13 2
                                    


Aku terbangun dengan rasa pengar yang teramat, kepalaku rasanya seperti ingin pecah. Setiap kali aku berusaha untuk menggerakkan kepalaku, ada rasa sakit yang menjalar dari kening hingga ke belakang tengkukku. Ini gawat.

Kutepuk-tepuk kepalaku dan memijatnya, berharap rasa sakitnya berkurang. Aku memaksa tubuhku untuk bangkit dan mendapati kepalaku berdenyut-denyut. Aku duduk diam selama beberapa menit, mengerjap beberapa kali, berusaha sadar.

Setelah merasa lebih baik, aku melangkah ke dapur untuk mengambil sebotol air dingin di kulkas dan menenggaknya habis dengan cepat. Aku baru saja akan membuat sup pereda pengar, tapi ternyata air dingin saja sudah cukup.

Aku memutuskan untuk mandi. Aku belum melihat jam, namun melihat sinar mentari yang cukup terik, sepertinya waktu sudah hampir siang.

Ketika berjalan menuju kamar mandi, aku berusaha mengingat-ingat semua kejadian tadi malam. Namun, beberapa terasa kabur di ingatanku. Aku masih mengingat semuanya sampai aku pulang naik taksi, tapi setelah itu...

Tidak! Aku hampir saja berteriak. Sial, sial, sial! Aku berjongkok lemas di depan pintu kamar mandi. Ingatan akan kejadian yang terjadi di depan pintu unitku perlahan tersusun rapi dan terputar dengan jelas di kepalaku.

Kata-kata gadis itu bahkan bisa kudengar dengan jelas. Jangankan hari ini, aku rasa aku bahkan tidak akan bisa untuk menemuinya lagi kapan pun karena aku terlalu malu. Apa yang akan gadis itu pikirkan tentangku sekarang?

Aku mandi dengan pikiran yang kemana-mana. Selama sepuluh menit penuh sibuk merutuki kebodohanku sendiri.

Pikiran itu bahkan masih berlanjut hingga aku selesai sarapan, tapi kini yang aku pikirkan adalah apa yang harus kulakukan atau kukatakan ketika bertemu lagi dengan San.

Apakah akan lebih baik kalau aku menemuinya hari ini juga untuk mengantisipasi kesalahpahaman yang mungkin ada? Sebab, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak berpikir bahwa gadis itu mungkin saja sudah menyimpulkan beberapa hal tentangku. Entah mengapa ada rasa takut yang berlebihan kalau saja itu benar. Dorongan untukku mengklarifikasi begitu kuat karena aku merasa itu perlu.

Kucari di mana letak ponselku. Ketika menemukannya berada di bawah kolong sofa, aku segera mendial nomor gadis itu tanpa perlu repot-repot untuk mengecek notifikasi yang masuk. Ini lebih penting.

Aku menunggu dengan tidak sabar. Suara tunggu telepon tersambung membuatku mendadak gugup. Gadis itu mengangkatnya. Ketika suara sapaannya terdengar, aku membeku.

Karena tidak ada jawaban, ia mengulanginya. "Halo, Kyu-ssi?"

Aku mengumpulkan kembali kesadaranku. "Ya, San-ssi, apakah kau ada di rumah?" Tanyaku, to the point, tidak mau mengambil resiko kalau-kalau keberanianku lenyap tiba-tiba.

"Ya, aku ada di rumah." Jawabnya, pendek.

"Apakah aku boleh kesana?" Aku menunggu dengan sabar. Entah kenapa ada jeda beberapa detik sebelum ia kembali menjawab.

"Ya, tentu saja." Dia terdengar ragu. Aku memejamkan mataku. Ia pasti masih teringat akan kejadian semalam.

Aku menutup telepon tanpa mengatakan apa pun lagi kemudian bergegas menuju unitnya. Aku berjalan dengan langkah lebar dan jadi sampai ke depan pintu gadis itu sangat cepat.

Aku berusaha membuang jauh-jauh keragu-raguan dan ketakutan. Aku langsung menekan bel dan tidak perlu waktu lama juga untuk gadis itu membukakan pintu.

Ketika benar-benar berhadapan dengannya seperti ini, nyaliku menciut. Bahkan kurasa aku tidak sanggup untuk menyapanya.

Dia menatapku bingung, situasi kami terasa canggung. "Apakah kau ingin masuk?" Tawarnya. Aku mengangguk.

Gadis itu berjalan menuju studio, aku mengikutinya. Dia terlihat berusaha untuk bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tapi aku masih bisa merasakan kecanggungannya.

[COMPLETED] F/3.9 ApertureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang