Pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan pintu unit gadis itu. Sejujurnya dorongan untuk terus menemuinya begitu kuat. Sehingga aku memikirkannya selama semalaman penuh tentang alasan apa yang bisa kugunakan untuk menemuinya lagi agar terdengar masuk akal. Maka kuputuskan untuk menulis sebanyak dua lembar penuh umpan balik soal pamerannya alih-alih mengirimnya lewat surel.Aku berdiri menatap pintu selama hampir dua puluh menit penuh, masih mengumpulkan keberanian untuk menekan bel. Aku terus memikirkan apakah aku akan terlihat sangat kentara dan aneh. Dan lagi, ini masih sangat pagi. Apakah aku akan mengganggunya? Tapi, jika menundanya, aku pasti akan melewatkan kesempatanku. Dia sepertinya selalu sibuk dan aku jelas tidak tahu kapan ia akan berada di rumah.
Tidak, tidak. Sepertinya ini bukan hal yang tepat. Sejak kapan aku bertindak tanpa berpikir matang dahulu seperti ini? Aku akan meninggalkan amplopnya di bawah pintunya saja. Ya, begitu lebih baik.
Baru akan menaruh amplopnya di bawah, tiba-tiba saja pintu terbuka. Kau tahu, rasanya seperti tersambar petir. Begitu mengejutkan sampai-sampai aku akan melompat dari tempatku berdiri. Gadis itu pun sama kagetnya denganku. Ia sampai mundur dua langkah ke belakang.
Sedikit panik, aku tidak dapat bersikap tenang sama sekali. Aku bergerak kikuk, tidak tahu apa yang harus kuucapkan atau pun kulakukan.
"Oh! Annyeonghaseyo,"
"A-annyeonghaseyo,"
Ucap kami berdua secara bersamaan. Gadis itu masih menahan gagang pintu, matanya membulat sepersekian detik. Aku tahu pasti rasanya seperti sedang disergap secara tiba-tiba. Aku telah sukses terlihat lebih aneh dari pada niatku sebelumnya.
Dia akhirnya melangkah keluar dan menutup pintu. Ia menatapku dengan tatapan penuh tanya, seperti menunggu penjelasanku. Tapi aku masih belum juga bisa mengendalikan diri dengan baik. Aku bahkan tidak sanggup menatapnya. Aku hanya bisa menunduk melihat deretan lantai di bawah.
Sekuat tenaga aku berusaha menenangkan diri. Kuatur napasku dan memberanikan diri untuk menatapnya. Kata-kata itu sudah di ujung lidahku. Aku yakin itu akan keluar tapi wajahnya membuatku terperangah. Sinar matahari pagi menerpa wajah sampingnya dan itu sungguh membuat kesan yang magis. Indah sekali. Dia terlihat berpendar.
Gadis itu terlihat semakin bingung melihatku yang hanya diam seperti patung. "Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?" Tanya gadis itu akhirnya.
Aku mengangguk. "Ee—" Mengapa aku seperti kehilangan kemampuan untuk bicara? Demi Tuhan, perasaan ini menyiksaku.
Dia menungguku dengan sabar. Aku melirik amplop cokelat di tanganku, ia juga ikut menatapnya. Amplop itu sudah sangat kusut. Aku bahkan tidak sadar telah mencengkeramnya terlalu kuat sejak tadi.
Dengan cepat kusodorkan amplop itu kepadanya. "Ini... umpan balik soal pameran." Ucapku, pelan sekali.
Aku bahkan ragu gadis itu akan menangkapnya. Benar saja, keningnya berkerut. Walaupun begitu, tangannya tetap terulur menerima amplop itu.
Selagi ia sibuk menatap amplop itu, kupergunakan waktu yang ada untuk melarikan diri dengan cepat. "Maaf telah mengganggumu." Tutupku, membungkuk sopan lalu berlalu dari hadapannya. Oh, betapa kikuknya aku akan terlihat di matanya. Masa bodoh, aku harus pergi sekarang juga.
Ia seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, aku langsung berjalan cepat sekali tanpa berpaling sedikit pun. Suara detak jantungku bahkan lebih nyaring ketimbang suara langkah kakiku.
Tepat sebelum aku sampai di pintuku, ia mengatakan terima kasih. Mau tidak mau, aku berbalik. Ia tersenyum manis sekali. Aku bahkan bisa melihat matanya yang juga ikut tersenyum. Ia lalu membungkuk sopan sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] F/3.9 Aperture
RomantiekStarring: Kim Mingyu, Miyawaki Sakura Just like an aperture in a camera, there's no default or the exact standard to make a perfect setting. You have to measure it and decide how much light you need for one shot. Unfortunately, they did mistakenly o...