A giant flash.

116 12 0
                                    


Makan siang kami adalah pasta. Itu rekomendasiku. Awalnya gadis itu ingin memasaknya sendiri, tapi aku melarangnya. Tentu saja alasannya karena tidak ingin membuatnya repot. Jadi, kami memesannya lewat layanan pesan antar. Sebenarnya kedainya tidak begitu jauh, hanya satu blok jauhnya dari apartemen. Maka itu tidak perlu waktu lama untuk sampai.

Gadis itu baru saja kembali dari dapur dengan sebotol air dan beberapa peralatan makan ketika aku baru saja menerima pesanan kami di depan.

Kau tahu, ketika makanan sampai, hal pertama yang ditanyakan gadis itu adalah struk pembayaran. Ia bahkan membaca struk itu dengan serius. Sesekali matanya akan melihat ke atas atau ke samping seperti sedang memproses sesuatu.

Ia mengambil ponselnya dan mengetik dengan cepat. Aku membuka bungkusan makanan dan menaruh boks saji di atas meja. Aroma pasta yang menguar membangkitkan selera makanku. Padahal aku tidak merasa begitu lapar tadi.

Gadis itu akhirnya selesai dengan ponselnya. "Bisakah kau mengirimkan nomor rekeningmu sekarang?" Tanyanya, tiba-tiba.

Aku mengernyit. "Untuk?"

"Mengirimkan bagianku." Sahutnya cepat.

Aku tergelak. Wah, dia benar-benar luar biasa. Sekarang ia juga mengernyit tak kalah heran. "Bisakah kita makan terlebih dahulu? Aku sudah sangat lapar." Kataku.

Dia tertawa kecil. "Baiklah," ucapnya, akhirnya. Aku tersenyum kecil. Dia penuh dengan kejutan—tingkahnya.

Kami makan dengan tenang, sibuk dengan bagian kami masing-masing. Saking tenangnya, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, penasaran dengan apa yang ia lakukan. Padahal sudah jelas pasti sedang makan.

Ia menyendok satu suapan ke mulutnya. Saat mendekatkan garpu, ia menahan rambutnya dengan hati-hati agar itu tidak terkena makanan. Aku memperhatikannya dengan takjub. Wajah sampingnya, gerakan lembutnya, ekspresinya saat makan, dia terlihat sangat manis.

Baiklah, sepertinya aku harus berhenti memperhatikannya sedetail itu. Rasa-rasanya aku jadi seperti terdengar tidak sopan. Tapi—ah tidak, aku tidak mau membela diri meski itu memang sangat menarik untuk diperhatikan.

Setelah tersadar, cepat-cepat kualihkan fokusku kembali pada makananku. Bagaimana kalau dia menangkap basah aku yang memandanginya sejak tadi? Itu pasti akan jadi lebih memalukan.

Sialnya, aku malah tidak bisa menahan senyumku. Dan dia melihatnya! "Apakah ada yang lucu?" Tanyanya, heran.

Aku gelagapan setengah mati. Aku hampir saja tersedak makanan di mulutku. Kutelan itu dengan susah payah lalu dengan cepat menenggak segelas air. Dia melihatku dengan kernyitan dalam di keningnya. Argh, aku sangat malu!

Setelah kembali normal, kuseka sisa-sisa air di mulutku. Aku menggeleng. "Tidak, tidak ada." Jawabku, berusaha bersikap tenang. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar di wajahku.

Matanya menatapku menyelidik seperti tidak percaya dengan jawabanku. "Sepertinya aku baru saja melihatmu tersenyum-senyum tadi."

Oh, dia sepertinya tidak akan membiarkanku lolos dengan mudah. Aku berpikir cepat dan hanya inilah jawaban terbaikku. "Aku—hanya teringat hal lucu saja. Itu—bukan apa-apa."

Dia tertawa kecil. Walaupun terlihat tidak puas dengan jawabanku, namun tak ayal ia mengangguk. Entah apa yang ia pikirkan tentangku setelah ini. Aneh pasti adalah salah satunya.

Kami kembali fokus makan. Tinggal satu suapan terakhir dan aku akan selesai. Kutuang segelas air dan meminumnya. Aku menoleh ke arah gadis itu. Sedikit lagi juga dia akan selesai. Aku menunggunya dengan sabar.

Setelah ia selesai menyuap suapan terakhir, aku bergerak untuk menuangkan air ke gelasnya. Jujur, itu refleks. Dia memberiku tatapan heran. Sama, aku juga heran. Mungkin karena aku terbiasa menuangkan minuman setiap kali aku minum dengan seniorku di kantor.

[COMPLETED] F/3.9 ApertureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang