Lampu penyebrangan masih menyala merah, tapi aku nekat berlari setelah memastikan bahwa kondisi jalan telah sepi.Aku tidak bisa memikirkan hal lain kecuali menghampiri gadis itu secepat mungkin. Sebab rasa takut itu kembali muncul, ketakutan akan kehilangan dirinya lagi untuk yang kedua kalinya.
San terpaku di tempatnya berdiri, memandangiku yang berlari ke arahnya. Ia terlihat sangat terkejut, seperti tidak menyangka akan bertemu denganku.
Ketika aku hanya tinggal beberapa langkah lagi saja sampai kepadanya, ia mengambil satu langkah mundur, terlihat akan menghindar.
Aku meraih tangannya dengan cepat. Napasku sudah tidak beraturan, entah akibat berlarian atau karena rasa sesak atau karena keduanya.
Ia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya, mulai menangis. Aku juga sudah tidak sanggup lagi berkata-kata, merasa sangat sesak.
"Maafkan aku..." lirihnya, pelan sekali. Aku menggeleng. "Tidak, jangan bicara apa pun lagi." Sergahku.
Aku menarik tangannya pergi. Ia tidak mencegahku dan hanya diam mengikutiku ke mobil.
Kami berkendara dalam hening dengan aku yang sebenarnya susah payah menahan diri untuk tidak memeluknya saat ini juga.
Begitu kami tiba di unitnya, aku langsung mendekapnya ke dalam pelukanku dan menangis kencang. San tidak bergerak sama sekali, tapi aku tahu dia juga sedang menangis.
Kueratkan kedua lenganku di balik punggungnya lalu menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Aku perlu memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi saat ini—bahwa apa yang terjadi detik ini benar-benar nyata.
Ketika ia bergerak untuk membalas pelukanku, saat itu juga aku mendengar satu isakan lolos dari bibirnya. Tubuhnya sedikit bergetar, membuatku yang tadinya sudah berangsur tenang jadi kembali menangis.
Aku tidak tahu berapa lama kami menangis hingga akhirnya merasa lelah. Aku mengendurkan pelukanku untuk menatapnya, matanya sedikit sembab berkat menangis cukup lama, kurasa aku juga pasti terlihat demikian.
Matanya memancarkan kecemasan ketika menatapku. "Kyu-ssi," ucapnya pelan.
Sebelum dia akan meminta maaf lagi, aku menggeleng cepat. "Tidak, jangan!"
Aku memejam ketika tangan kanannya terangkat untuk menyentuh wajahku, merasakan kelembutan yang menjalar.
Ibu jarinya bergerak mengusap sisa-sisa air mata di sana, tapi aku malah jadi ingin menangis lagi.
Aku menarik tangannya untuk berjalan ke sofa, duduk di sana dan menarik tubuhnya untuk duduk di pangkuanku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Ia sedikit terkesiap, tapi tidak protes sedikit pun.
Kusurukkan wajahku di lehernya, menangis di sana. "San-ssi, aku sangat merindukanmu."
Suaraku tertahan, tapi aku tahu dia mengerti sebab aku bisa merasakan anggukan pelan kepalanya.
Tangannya bergerak mengusap punggungku. Sebenarnya tangisku sudah mereda, tapi aku masih tetap bertahan pada posisiku, tidak ingin melepaskannya.
Ia berdeham pelan, suaranya sedikit serak. "Kyu-ssi," panggilnya, hati-hati.
Tubuhnya menggeliat beberapa kali, berusaha melepaskan diri. Aku menggeleng, semakin mengeratkan pelukanku.
Saat San mulai mendorong bahuku pelan, akhirnya aku menyerah. Tapi, aku hanya mengangkat wajahku saja sementara lenganku masih melingkarinya.
Dia sudah akan bicara, tapi aku langsung memotongnya. "Aku tidak mau mendengar apa pun karena aku bahkan sudah tidak mau tahu lagi apa pun alasan kau pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] F/3.9 Aperture
RomanceStarring: Kim Mingyu, Miyawaki Sakura Just like an aperture in a camera, there's no default or the exact standard to make a perfect setting. You have to measure it and decide how much light you need for one shot. Unfortunately, they did mistakenly o...