𝓢𝓪𝓰𝓪'𝓼 𝓹𝓸𝓿

5 2 0
                                    

Kuharap Elaine baik - baik saja. Itu hal pertama yang terus terbayang di benakku. Aku sangat meragukan dengan namanya yang berubah. Aku yakin ia Elaine yang kukenal, bukan Nadeleine. Seorang gadis polos cucu dari penyihir di desanya. Ia juga pandai memainkan sihirnya, ia adalah orang pertama yang mengajarkanku ilmu sihir sebelum kakek.

Namaku Saga. Itu adalah panggilan dari kakek. Aku tak akan menyebutkan nama asli dari kerajaan. Menurutku sangat buruk, aku tak begitu suka. Aku hidup bebas di wilayah kerajaan. Bebas—namun hanya bisa di wilayah kerajaan.

Pemegang takhta tertinggi di keluargaku adalah ayah, Raja Beaufort Perceval. Dia seorang raja yang terkenal bijaksana bagi para rakyat. Tentu, pasti mereka akan berpikir seperti itu. Namun tidak untukku. Karena aku bukan salah satu rakyatnya.

Ayah hanya peduli dengan rakyat di desa nya. Padahal kerajaan ini adalah pusatnya dari kerajaan lain. Aku membayangkan bahwa disana pasti banyak rakyat di desa lainnya yang miskin kelaparan.

Impianku adalah menjadi seorang ksatria yang berkelana dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Bukan hanya menetap disini. Bukan hanya mengurung diri di istana ini. Aku ingin membantu mereka yang membutuhkan.

Hingga suatu hari, aku bertemu seorang gadis yang membeli roti di toko roti kesukaanku. Dia membeli banyak, apakah semua itu akan ia makan sendiri? Aku tak sengaja membuntutinya hingga gadis itu sampai di tempat tujuannya.

Tak kusangka, semua roti yang ia beli diberikan kepada rakyat pinggiran di desa Papiliona. Sudah kuduga, pasti ada yang seperti ini.

Gadis itu berdiri tepat di depanku. "Aku tau, kau mengikutiku sejak di toko roti itu bukan?" Ia berbalik menatapku.

"Terimakasih atas rekomendasi makanan yang kau berikan. Mereka sangat menyukainya."

Pakaian usang, wajah yang kotor, kondisi tubuh yang tak terurus. Begitu kurus bak tak makan berbulan - bulan. Itulah kesan pertamaku saat melihat keadaan mereka. Mereka melahap satu roti utuh dengan satu kendi kecil berisi susu murni. Mereka minum dalam satu teguk.

"Mereka–"

"Rakyat pinggiran yang terasingkan, rakyat buangan."

Aku sudah menduganya.

"Kau salah satu keturunan kerajaan bukan? Oh tidak, kau bahkan putranya." Gadis itu bertekuk lutut langsung ketika sadar melihat pakaianku—mungkin yang nampak seperti warga kerajaan.

"Namaku Elaine Lenora, dengan segala hormat aku bisa bertemu denganmu disini. Your highness. Maaf atas sikapku yang lancang tadi."

Ini terlalu berlebihan. "Bangunlah, bersikaplah santai seperti kau bersama yang lainnya. Anggap aku bukan salah satu anggota istana."

Elaine mengernyit kebingungan. Semua anak di belakangnya menatapku serentak dan langsung ikut bertekuk lutut di depanku. Jujur, aku merasa begitu canggung jika seperti ini.

"Kenapa jadi kalian semua yang ikut bertekuk lutut? Sudah kubilang bersikaplah santai."

Mereka semua kembali duduk seperti semula. Elaine pun berdiri.

"Iya kau benar. Aku putra dari yang mulia raja—ya yang kau tau itu. Namaku Saga. Senang bisa berkenalan denganmu, dan anak - anak yang kau berikan makanan itu."

"Tunggu - apakah benar itu namamu?" Karena anggota kerajaan tak pernah memiliki nama sependek itu. Tidak heran jika dia bertanya.

"Panggil saja aku Saga." Ia mengangguk. Elaine pergi menuju sebuah gubuk kecil. Aku mengikuti di belakangnya. Aku begitu penasaran dengan hal - hal yang dilakukannya.

The lost princeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang