𝓢𝓪𝓰𝓪'𝓼 𝓹𝓸𝓿 2

2 2 0
                                    

Pertemuanku dengan Elaine berakhir sampai situ saja. Aku ketahuan. Kalau aku sering keluar istana. Kalau aku sering berbohong pada setiap asisten disana. Kalau aku juga sering berbohong pada ayah.

Ayah menungguku di ruangannya. Ruangan gelap dipenuhi hiasan antik. Jika saja aku menyentuh salah satu benda disitu, ayah langsung murka saat itu juga.

Ketika memasuki ruangan, ayah sudah berkacak pinggang di dalam. Kedua alisnya menyatu memperlihatkan emosi di wajahnya.

Aku takut, tanganku gemetar, dahi ku berkeringat. Aku hanya bisa menunduk diam sembari memainkan kesepuluh jariku.

"Dongak kan kepalamu." Pinta ayahku. Aku menurutinya.

"Seorang lelaki yang gagah tak pernah menundukkan kepalanya." Lanjut ayah berjalan mendekat ke arahku.

Derap langkah nya yang terus mendekat memiliki banyak tanda tanya. Antara dia akan langsung menampar wajahku, menusukku dengan pedang di tangannya, atau mengelus kepalaku sambil tersenyum. Opsi ketiga terdengar mustahil.

Plaakk!!

Satu pukulan mendarat di wajahku. Saat ku melihat wajahku di cermin belakang ayah, terlihat merah dengan sedikit lecet yang hampir berdarah. Jika dilakukan sekali lagi, maka darah akan keluar menetes kebawah.

Plakk!!

Dan benar ayah melakukan untuk kedua kalinya. Awalnya akan terasa pedih, perih, meyakitkan, semakin lama itu tak akan terasa.

"Dasar anak bodoh! Sudah di fasilitasi banyak oleh ayahmu ini seenaknya saja kamu berbuat, seenaknya saja kamu membantah!!"

Keluarkan saja. Keluarkan semua kata - katamu itu ayah.

"Hal bodoh apa saja yang kamu lakukan diluar sana tanpa sepengetahuan ayah?"

Pukulan ketiga, keempat, kelima. Selama ayah bicara pukulan itu tak ada hentinya. Dan benar darah itu menetes mengenai tanganku. Mengapa itu bisa terjadi? Karena ayah mengenakan cincin yang entah kenapa terasa tajam mengenai wajahku. Aku hanya diam, mendengarkan segala omong kosongnya.

"Apakah kamu tau kerja keras yang ayah lakukan untuk dirimu dan keempat kakakmu? Ayah mendidik mu untuk menjadi anak yang jujur, pandai, dan bijaksana agar bisa menjadi penerus yang baik kelak nanti. BUKAN MALAH SEPERTI INI!!! Kabur saat jadwal belajar, bermain dengan gadis aneh yang rakyat tak tahu siapa gadis itu!!" Ayah tak berhenti berteriak. Suaranya nyaris berdengung di telingaku. Kepalaku terasa sakit. Aku yakin kakak - kakakku sedang menguping ucapan ayah tepat di luar ruangan ini.

"Benarkah begitu ayah?" Ucapku terdengar pelan. Ayah terdiam menatapku dengan mata yang membulat.

"Apa yang kau bilang barusan?"

"Benarkah ayah mendidik ku seperti itu? Jujur? Pandai? Bijaksana?" Aku menatap ayahku dengan tatapan tajam. Seketika ayahku terlihat ketakutan. Ia mundur selangkah demi selangkah.

"Jujur? Apakah selama ini ayah jujur? Oh, jika ayah ingin aku jujur, aku bisa mengatakan semua hal yang ayah tutupi selama ini. Aku bisa jujur kepada semua rakyat sekarang juga. Pandai? Pandai dalam memanipulasi orang maksudmu? Pandai memanfaatkan orang lain hanya untuk kesenanganmu sendiri? Bijaksana? Ayah bahkan mendiskriminasi rakyatnya sendiri." Tukas ku. Mengatakan hal ini adalah satu hal yang nekat. Anggaplah aku sedang menantang maut. Entah esok harinya aku masih bernafas atau tidak.

"Dasar anak durhaka!!–" Aku menangkis tangan ayah dan memegangnya kuat - kuat.

"Aku melihat semua perbuatanmu ayah, diskriminasi rakyat, pencurian, penyiksaan di negeri sebelah, dan rencana pembunuhan massal di salah satu desa. Oh ya, apakah ayah juga ingin membunuh kakek demi mendapat kristal di dalam jiwanya?"

The lost princeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang