𝓗𝓪𝓶𝓵𝓮𝓽

3 2 0
                                    

Pemandangan diluar ramai oleh anak – anak yang sibuk berlarian kesana kemari. Dengan gelak tawa yang meramaikan suasana. Saga mengatakan mereka sibuk menyiapkan sarapan dan bersiap untuk melakukan pekerjaan mereka.

"Memang apa pekerjaan mereka?" Aku berjalan beriringan dengan Saga. Pria disampingku ini berbicara seraya melihat kegaduhan anak – anak di sekitarnya.

"Mereka hanya seorang budak yang dibayar murah."

"Tidak heran kalau dibayar murah, mereka adalah anak – anak yang tak sekolah. Kesehariannya mereka habiskan disini, di hutan ini." Sambungnya.

Aku kembali melihat sekeliling. Mereka hanyalah anak – anak biasa, semuanya. Mulai dari yang paling kecil, hingga yang sudah besar. Sejauh yang kutahu ini adalah desa kecil lebih tepatnya desa pinggiran yang masih menjadi bagian wilayah Papiliona.

Semua anak ini adalah 'anak buangan' atau anak yang ditinggalkan orang tuanya. Mereka biasa ditemukan di dekat tong sampah, di bawah pohon, atau daerah sekitar pelabuhan. Posisi mereka selalu berada di dalam keranjang kayu yang besar. Ketika suara tangisnya pecah, disitulah mereka akan ditemukan, lalu diadopsi dan dibesarkan di desa ini.

Yang membuatku takjub, semua anak – anak ini tak pernah menyerah. Mereka penuh energi, selalu semangat, dan berusaha. Meskipun mereka datang dari keluarga yang tak ada asal usulnya, mereka tetap berusaha bahwa mereka layak, mereka pantas mendapatkan semua yang mereka inginkan. Tak ada bulir air mata kesedihan yang mengalir, kalaupun ada itu adalah kebahagiaan.

Saga mendidik mereka dengan sangat baik. Mereka tumbuh menjadi sosok yang dewasa, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Sekarang Saga sudah tak perlu repot merawat anak yang masih bayi, ia juga dibantu dengan anak – anak lainnya yang sudah remaja.

Sampailah di tempat mereka biasa berkumpul. Ini bukan di dalam ruangan, melainkan di luar. Udara masih sangat sejuk dan ditemani kupu – kupu bersayap transparan yang terbang bebas di udara. Terdapat sebuah meja berukuran sangat besar, dan diatasnya sudah banyak hidangan berbagai jenis yang siap disantap. Kursi yang terbuat kayu itu sudah tersusun rapih.

Piring – piring sudah tertata disertai sendok dan garpu. Aku terpukau melihat semua ini, mereka sangat hebat menyiapkan semuanya.

Saga menarik salah satu kursi di paling ujung dan dia mempersilahkan aku duduk disitu. Aku mengiyakkan dan duduk disana. Semua anak – anak itu termangu melihatku, terutama yang disampingku saat ini. Bayi berusia lima tahun yang bisa berbicara dengan lancarnya. Dia melontarkan segala pertanyaan kepadaku seperti; bagaimana aku bisa mengenal Saga? Dimana aku mengenalnya? Siapa yang mengajak berkenalan lebih dulu? Dan sebagainya.

Karena sadar aku merasa tak nyaman, Saga memindahkan bayi itu di tempat yang lebih jauh dan ditukarkan oleh seorang gadis kecil yang cenderung pendiam. Padahal sebenarnya aku tetap di samping bayi itu tak masalah.

Sarapan pun dimulai. Semua anak sekonyong – konyong mengambil makanan di depan mereka. Seperti sedang berburu, mereka secepat kilat mengambil makanan sampai beberapa piring sudah ludes bersih tak tersisa. Bukannya makan, aku malah termangut – mangut menatap mereka yang lahap.

Saga terus mengambilkan makanan ke piringku. Padahal aku bisa ambil untuk diriku sendiri. "Kamu harus coba ini Nadeleine." Ucapnya berulang kali. Kebanyakan makanan disini adalah daging. Rasanya sangat amat lezat. Entah bagaimana cara mereka meracik bumbunya.

"Saga, aku bisa mengambilkan semuanya sendiri." Tukasku menilik figur Saga.

"Jika kamu tak segera mengambil, mereka akan langsung menghabiskan semuanya."

Aku tersenyum menatap semua anak disini, "Tidak masalah kalau itu. They deserve more."

Setelah sarapan usai, semua anak terdiam karena perut mereka sudah terisi penuh. Beberapa ada yang mengeluarkan suara dari kerongkongannya.

The lost princeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang