1. Rokok Neng?

3K 27 46
                                    

"Arghhh... pusing, buntu!"

"Pusying ya neng? nih!" Sebatang rokok dan koreknya tersodor di hadapanku. "Nih, belum ku minum, kalo mau boleh di-sruput dikit," lanjutnya sambil menyodorkan kopi hitam yang terlihat sangat pahit.

Kebiasaan banget ini orang, kalo lagi pusing, bukannya dikasih ide malah disodori rokok. Sudah tahu loh, aku enggak ngerokok masih aja disodorin rokok.

"Piye toh, Mas, Maseeh kan tahu aku enggak ngerokok, kok tiap aku ngeluh pusing mesti disodori rokok terus!" Emang harus diomelin laki-laki satu ini, tapi yang diomelin malah cuma meringis.

"Kenapa sih kamu selalu menghindari ini?" -- sambil mengacungkan bungkus kretek di tangannya,--  "takut sama tulisan Me-ro-kok Mem-bu-nuh-mu?" lanjutnya dengan memberi penekanan pada tulisan yang dia eja dari bungkus kretek tersebut.

"Kalo iya kenapa?"

"Yo, gak popo, sih. Wajar kok, tapi coba kamu kesampingkan dulu masalah kesehatannya, kita tahu kalo sebagian orang merasa kalau rokok itu menimbulkan rasa tenang, teman berkontemplasi buat melahirkan karya-karya ciamik. Kamu tahu kan? Chairul Anwar, Remi Sylado, Jean Paul Satre, Albert Camus, George Orwell, Paulhan, ya, masih banyak lagi lah, masak harus tak sebut satu-satu, mereka ngerokok to! Sastrawan besar itu banyak yang ngerokok! Nggak masalah, karena emang ngerokok bisa menjernihkan pikiran yang kalut, ide akan banyak mengalir saat pikiranmu jernih," ucapnya panjang lebar.

"Halah, wis enggak usah hotbah lagi masalah rokok, Mas. Gak mempan. Aku enggak mau! Jangan paksa aku ikut aliran keblingermu. Kamu boleh mendebat, tapi gak boleh maksa aku untuk ngikut. Yang jelas Franz Kafka-ku kan enggak ngerokok!" jawabku enteng, sambil menyebut salah satu penulis favoritku. Udah biasa ngadepin dia yang tiap kali aku ngeluh pusing, karena enggak ada ide, selalu disuguhi rokok dan kopi pahit, kayak demit.

Bukan cuma karena alasan kesehatan, aku sangat menghindari rokok karena aku seorang ukhti, biasanya kata ukhti dalam keseharian kita, dipakai untuk merujuk pada saudara muslim perempuan yang berjilbab, mempelajari ilmu agama__ aku dari umur 2 sudah belajar ilmu agama loh__, bersikap sopan pada orang lain__kecuali pada, Mas Gugun, sahabatku yang nyeleneh ini__, tidak pacaran__aku memang menghindari pacaran, jadi kalo di novelku isinya romansa semua, itu murni hasil ngehalu__, ya pokoknya aku terlihat agamis kayak ukhti-ukhti. Jadi nggak mungkin kan, aku yang seorang ukhti, merokok?

"Tapi, kopinya boleh mas!" lanjutku, sambil melambai, ngawe-awe pramusaji warkop yang dari tadi mondar-mandir.

"Ada apa mbak?" tanyanya sopan.

"Boleh minta tambahan gula mas? Ini kopinya pahit banget," jawabku.

"Boleh mbak. Nanti saya bawakan"

"Hemm... kamu tuh mencemari rasa pahitnya kopi. Kopi itu ya sudah seharusnya pahit, biar nendang, njadug langsung. Kalo manis mending beli boba aja."

"Ya kalo aku beli sendiri pasti milih boba to mas, tapi kan ini gratisan dari kamu. Dari pada enggak keminum, mending tak edit rasanya." Aku menjawab diplomatis.

Aku dan Mas Gugun, serta beberapa mas lain memang sudah akrab sejak kuliah, kami sama-sama satu jurusan di Sastra Inggris. Kini dia menjelma menjadi kritikus dan penerjemah karya berat, sedangkan aku, hanya penulis cerita roman yang diromantis-romantiskan, tapi karena ternyata penggemar cerita lebay itu lebih banyak, jadi aku lebih terkenal dari pada dia. Bahkan karyaku juga sudah ada yang difilmkan. Aku sih enggak terlalu bangga. Iya memang, itu bikin kantongku jadi gendut, tapi kepuasan batinku tetap selalu di angka krisis. Orang-orang memuji-muji karyaku, mereka bilang 'gemes', 'baper', dan lainnya, tapi aku sendiri bahkan nggak ngerasain katarsis apa pun dari cerita romanku itu.

Ukhti KhilafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang