Bab 8

260 5 0
                                    

Kecemasan kian terasa di benak Eric, setelah menunggu cukup lama di depan ruang rawat Uri. Dia benar-benar khawatir dengan kondisi perempuan itu saat ini karena di tubuhnya ada beberapa luka yang terlihat baru saja terlukis dan itu membuat Eric sedikit penasaran.

Dokter yang menangani Uri baru saja keluar dari ruangan bersama dua perawat wanita di sisinya, Dokter bernama Juna itu langsung dihadang oleh Eric yang begitu penasaran dengan keadaan Uri. "Gimana keadaan Uri, Dok?"

Dokter Juna memperbaiki posisi kacamatanya sebelum menjawab pertanyaan Eric, dia tau siapa sosok Eric dan sedikit penasaran hubungan pria itu dengan pasiennya. "Kalau boleh tau, Mas siapanya pasien ya?"

Pertanyaan Juna membuat napas Eric tercekat, dia bingung harus menjawab apa. Sekarang, dia hanya sendiri dan para pengawalnya sengaja menunggu di parkiran. Tidak ada yang bisa membantunya, dia harus menjawab sendiri. "Hmm, saya temennya."

Juna mengangguk pelan walau sedikit kurang percaya dengan apa yang Eric katakan. "Pasien baik-baik saja, dia cuman kelelahan."

Dahi Eric mengerut setelah mendengar penjelasan Juna. "Kecapekan? Luka di tubuhnya juga karena kecapekan?"

Menanggapi pertanyaan Eric, Juna perlahan menggeleng pelan. "Bukan, luka dan lebam yang ada di tubuhnya bukan berasal dari kecapekan."

"Terus, darimana?"

"Ada kemungkinan, pasien sempat terjatuh sehingga menyebabkan luka tersebut. Namun, kami tidak bisa memastikan. Mas bisa langsung tanya sama dia."

"Dia sudah sadar?"

Juna mengangguk pelan dan Eric langsung masuk ke dalam ruang rawat Uri tanpa pamit kepada dokter muda itu.

Saat masuk, matanya langsung menatap sosok Uri yang tengah memperhatikan jendela. Di sana, langit malam tengah terukir secara perlahan.

"Uri," panggil Eric pelan sembari mendekat ke arah kasur rawat perempuan itu.

Yang dipanggil langsung menoleh. Namun, tatapannya langsung dia alihkan entah atas dasar apa.

Eric yang melihat hal itu langsung kebingungan dan perlahan mengusap pipi Uri yang semakin tirus. "Kamu kenapa?"

"Nggak pa-pa kok, Mas."

"Kalau ada apa-apa cerita aja."

Uri menggeleng pelan dengan cepat, dia ingin menutup mulutnya dan mau merahasiakan masalahnya pada siapapun termasuk pada Eric.

Melihat sikap Uri yang berubah, Eric hanya dapat tersenyum kecil. Namun, tangannya terus mengusap pipi Uri perlahan. "Yaudah, kalau kamu nggak mau cerita nggak pa-pa kok."

Mata Uri perlahan bergetar mendengar suara lembut milik Eric yang jarang dia dengar, tapi hatinya terus menolak untuk membeberkan semuanya.

"Gimana keadaan kamu? Udah enakan?" tanya Eric lagi yang langsung membuat Uri mengangguk pelan. "Saya sudah telepon Mami Felly dan cerita tentang keadaan kamu, dia bilang kamu harus istirahat dulu beberapa hari ini."

"Eh, jangan, Mas!" tolak Uri dengan tegas yang membuat Eric sedikit terkejut.

"Kenapa?"

Uri terdiam sesaat, mencari jawaban yang tepat untuk diberikan pada Eric. Dia tidak mungkin izin bekerja karena jika melakukan hal itu, gajinya akan dipotong dan dia tidak bisa membayar utang.

Melihat Uri yang melamun, Eric langsung menyadarkannya dengan menepuk pundak perempuan itu perlahan. "Kamu nggak pa-pa kan?" tanya Eric lagi.

Kali ini, Uri tidak merespon apa-apa dan terlihat bimbang.

"Ayolah, jujur sama saya. Saya nggak bakal bocorin apa yang kamu katakan," bujuk Eric yang membuat Uri melirik ke arahnya.

"Pokoknya aku nggak bisa izin, Mas."

"Kenapa?"

Sebelum menjawab, Uri menghela napasnya berharap kegugupannya juga ikut menghilang. "Kalau aku izin, nanti gaji aku dipotong."

Salah satu alis Eric terangkat setelah mendengar ucapan Uri, dia tidak menyangka bahwa perempuan di sisinya itu masih memikirkan tentang uang dibanding kesehatannya. "Tapi, kamu lagi sakit."

"Aku udah nggak pa-pa kok!"

Suara Uri meninggi saat menjawab Eric, seakan menegaskan apa yang dia sampaikan. Namun, Eric merasa apa yang Uri katakan tidaklah benar.

"Gini aja deh, berapapun gaji kamu dipotong biar saya yang ganti dua kali lipat. Kamu istirahat aja dulu beberapa hari di sini."

Kebimbangan kembali datang menghampiri Uri, tubuhnya memang butuh istirahat dan mendengar tawaran Eric, akhirnya dia bisa bernapas sedikit lega.

"Gimana? Kamu mau kan istirahat dulu di sini?" tanya Eric lagi yang langsung dibalas anggukan oleh Uri. Pria tinggi tersebut kemudian menarik selimut yang Uri gunakan agar memberi kehangatan untuk pemakainya.

Melihat Uri yang semakin nyaman di atas kasur membuat Eric cukup bahagia, pria itu tidak henti-hentinya tersenyum sembari memerhatikan Uri yang perlahan tertidur dengan pulas.

Selama Uri tidur, Eric senantiasa menemaninya. Melupakan kewajibannya untuk pulang ke rumah dan terlihat sibuk memperhatikan setiap inci wajah Uri yang begitu cantik di matanya.

Entah kenapa, ada rasa bahagia di benak Eric saat melihat wajah perempuan di hadapannya dan berharap dapat melihatnya setiap saat. Namun sampai sekarang, Uri masih belum memberinya jawaban.

Tepat pukul delapan pagi, Uri terbangun dari tidurnya karena ingin pergi ke kamar mandi. Dia sedikit bingung saat ingin melakukan pergerakan sehingga membuat sedikit kebisingan yang berhasil membangunkan Eric.

Mata tajam pria itu terbuka perlahan dan melihat sosok perempuan di hadapannya tengah mematung kebingungan. "Sudah bangun?" tanya Eric dengan suara seraknya.

Uri mengangguk pelan. Namun, matanya terus bergerak kesana kemari. Membuat Eric merasa bingung dan sedikit penasaran. "Kamu kenapa?"

Pertanyaan Eric membuat Uri sedikit gugup dan tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Melihat hal itu, Eric langsung memegang bibir Uri dengan lembut. "Kalau gugup jangan gigit bibir begitu, kasian bibir kamu nanti luka."

Uri mengerutkan bibirnya karena sedikit kesal pada Eric. Namun, tak ada satupun kata yang keluar dari mulut perempuan itu.

"Jadi, kamu mau apa?"

"Hmm, sebenernya aku pengen ke toilet, Mas. Tapi nggak tau caranya."

Uri sedikit malu saat mengungkapkan apa yang dia inginkan. Hal itu membuat Eric tertawa kecil dan perlahan mengusap kepala Uri.

"Kenapa nggak ngomong dari tadi? Yuk, saya anterin."

Eric berjalan ke arah lain dari sisi kasur Uri, tanpa ragu dia membawa infus Uri dan membantu perempuan itu untuk turun dari kasurnya. Tangan Eric melingkar di pinggang Uri dan membawanya sampai ke toilet, hanya sampai di depan dan membiarkan perempuan itu melakukan apa yang dia inginkan.

Sedikit ruang terbuka agar selang infus milik Uri tidak terjepit.

Sembari menunggu Uri selesai, Eric asyik memperhatikan langit pagi ini. Terlihat mendung seperti akan turun hujan.

Suara pintu terbuka membuat Eric langsung menoleh, mendapati Uri sudah keluar dari toilet. Pria itu dengan sigap membantu Uri kembali ke kasurnya. "Hati-hati."

Untuk kali pertama, mereka menghabiskan waktu cukup lama dan membuat sedikit kecanggungan. Keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan sampai seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan Uri.

"Selamat pagi, Mbak. Kami cek dulu ya."

Uri mengangguk pelan dan Eric sedikit menjauh, memberi ruang untuk Dokter yang menangani Uri. Walau begitu, Eric tetap memperhatikan dokter tersebut sampai selesai.

"Keadaan Mbak sudah jauh lebih baik ya, tapi untuk lebam-lebam yang ada masih harus di obati. Saya kasih obat salep ya, tolong dipakai setiap dua jam sekali."

"Baik, Dok"

***

Sisi Gelap Keluarga Cameron (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang