Bab 9

214 4 0
                                    

Tidak seperti sebelumnya, suasana di antara Uri dan Eric kini kian memanas setelah Uri terus menutup mulutnya tentang alasan tubuhnya mengalami luka-luka.

"Apa susahnya untuk jujur sih?" tanya Eric tanpa menatap ke arah Uri. Dia masih kesal pada perempuannya itu. Namun, tetap ingin mengetahui jawaban sebenarnya.

Tidak, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Uri. Hal itu membuat Eric sedikit frustasi. "Oke, kalau kamu nggak mau cerita. Biar saya yang cari tau sendiri."

Saat Eric ingin pergi, tangan Uri menahan langkah pria tersebut. Mata bulatnya menatap mata Eric dengan penuh harap. "Jangan."

Suara lirih Uri berhasil membuat Eric kembali duduk, perasaannya masih kesal. Namun, tidak tega pada raut wajah perempuan di sisinya.

"Jadi, kamu masih mau tetap diam?"

Pertanyaan Eric membuat Uri sangat gugup sampai susah menelan ludahnya sendiri. Tenggorokannya sedikit kering dan perempuan itu dengan cepat mengambil segelas air dan meminumnya.

Sebelum menjelaskan, Uri kembali mengambil napas dengan panjang mencoba untuk tetap tenang. "Jadi gini, Mas. Luka yang ada di tubuh aku itu berasal dari Tante aku."

"Tante?" tanya Eric dengan dahi mengerut. Dia sedikit tidak percaya dengan apa yang Uri katakan. Namun, setelah melihat perempuan itu mengangguk pelan. Dia akhirnya percaya. "Kok bisa Tante kamu ngelukain sampe segitunya."

Tentu, Eric perlu penjelasan lebih lanjut karena luka di tubuh Uri tidak hanya satu, tetapi ada banyak dan tersebar di tubuh perempuan itu.

Uri menundukkan kepalanya sebelum menjawab, ada rasa sedih yang teramat di benak perempuan itu karena harus kembali mengingat kejadian sebelumnya.

"Aku juga nggak tau. Semua itu gara-gara utang, Mas. Aku belum bisa bayar utang ke beliau bulan ini, soalnya aku belum gajihan."

"Utang? Emangnya seberapa banyak sih?"

Uri kembali terdiam mendengar pertanyaan Eric, dia sendiri tidak tau berapa banyak utang orang tuanya. Tetapi, Tantenya terus menagih tanpa henti.

"Nggak tau, Mas. Tapi, aku harus bayar utang itu. Ya setidaknya, uang itu bisa gantiin biaya hidup aku sama dia sebelumnya."

Merasa perihatin pada kondisi Uri saat ini, Eric perlahan mengusap kepala perempuan itu. Dia merasa memiliki peluang untuk kembali menawarkan Uri sebagai simpanannya.

"Setelah kejadian ini, apa kamu nggak mau nerima tawaran saya? Saya punya cukup banyak uang untuk membayar utangmu itu."

Dipenuhi keraguan membuat Uri kembali terdiam. Dia sudah muak dengan hidupnya dan uang adalah sesuatu yang perlu dia cari sekarang. Hebatnya Eric datang di saat yang tepat.

Wajah Uri perlahan menoleh, menatap Eric yang terus memperhatikannya dengan penuh harap.

"Tapi Mas," jawab Uri ragu dengan kebiasaan buruknya yaitu menggigit bibir bawah saat tengah gugup.

"Tapi apa? Kamu takut kenapa?" Eric kembali mengusap pipi Uri dan membuat perhatian perempuan itu penuh ke arahnya. "Saya janji akan memberi kamu semuanya, apapun yang kamu mau. Kamu tinggal bilang. Oke."

Sebelum menjawab, Uri menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Dia harus melakukannya, melakukan apa yang Eric tawarkan. "Oke, Mas. Aku mau."

Senyuman bahagia terlukis di wajah tampan Eric, pria itu tanpa malu menarik tubuh Uri untuk masuk ke dalam pelukannya. "Makasih ya. Mulai sekarang kamu nggak perlu pusing mikirin uang, saya pastikan kamu hidup dengan nyaman dan tenang."

Sesuai dengan apa yang Eric katakan, perempuan itu tidak perlu memikirkan apapun lagi selain dirinya sendiri. Uri memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan fokus pada pemulihan tubuhnya.

Setiap hari, Eric terus datang menemani perempuan itu. Mengajaknya berbincang juga kadang tidur bermalam di kamar rawat Uri. Hubungan mereka membaik jauh lebih dari sebelumnya.

"Mas," panggil Uri pada Eric yang tengah mengupas kulit apel untuk perempuan itu.

"Iya, kenapa?" tanya Eric tanpa menatap perempuan yang memanggilnya, dia begitu fokus dengan pekerjaannya karena takut terjadi hal buruk saat mengupas buah tersebut.

"Mas," panggil Uri lagi dengan nada suara manjanya.

Hal itu tentu membuat Eric langsung menghentikan kegiatannya dan menatap wajah Uri yang meminta perhatiannya. "Iya, kenapa, sayang?" tanya pria itu.

Sudah cukup lama Eric memanggil Uri dengan sebutan sayang dan perempuan itu tidak menolak bahkan menyukainya.

"Kapan sih aku bisa keluar dari sini?" tanya Uri dengan wajah cemberut, dia sudah lelah tinggal di rumah sakit dan ingin pulang ke rumah.

"Kenapa? Kamu bosan ya?" tanya balik Eric yang langsung membuat Uri mengangguk pelan. "Ya udah, saya usahain besok ya."

Mata Uri membulat sempurna setelah mendengar ucapan Eric yang terakhir, dia benar-benar ingin pulang sekarang dan Eric akan mengabulkan keinginannya itu.

"Beneran? tanya Uri memastikan dan Eric mengangguk pelan.

Karena terlalu bersemangat, Uri langsung berteriak dan memeluk erat tubuh Eric. Keinginannya untuk pulang sebentar lagi akan terkabulkan.

Sesuai janji Eric, Uri akhirnya bisa pulang. Bukan pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Eric.

Saat sampai, Uri cukup terkejut hanya karena melihat gerbang rumah pria itu yang sangat tinggi juga mewah. Namun, tidak melupakan aspek keamanan.

Di depan gerbang, ada dua pos penjagaan beberapa orang di dalamnya. Saat mobil Eric mendekat, mereka langsung keluar dan memberi penghormatan dengan menunduk 90°.

"Di dalam pagar ini ada rumah kamu, Mas?" tanya Uri setelah menoleh menatap Eric yang duduk di sisinya.

"Iya, sayang," jawab pria itu setelah mengusap kepala Uri.

Interaksi mereka tak luput dari tatapan sopir dan pengawal pribadi Eric yang duduk di depan. Uri sebenarnya sedikit risih setelah mengetahui hal itu. Namun, dia tetap diam dan bersikap biasa.

Setelah masuk ke dalam gerbang, Uri kembali dibuat takjub dengan bangunan besar di hadapannya. Rumah mewah berlantai lima itu berhasil membuat Uri menatapnya tanpa kedip. Namun, tujuan mereka ternyata bukan bangunan tersebut karena mobil yang dikendarai Uri juga Eric berpindah ke tempat lain.

"Loh, rumah itu bukan rumah kamu?" tanya Uri setelah memiringkan tubuhnya agar dapat berhadapan dengan Eric.

"Bukan, itu rumah utama. Di sana, Ayah sama Ibu saya tinggal. Kita tinggal di tempat lain."

Tidak ingin terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Eric, Uri memutuskan untuk diam setelah mendengar penjelasan singkat dari pria tersebut.

Selama perjalanan menuju rumah Eric, mereka melewati beberapa bangunan lain yang begitu menarik perhatian Uri. Setiap ada bangunan baru, perempuan itu akan menempelkan wajahnya ke kaca agar bisa melihat detail bangunan tersebut.

Eric di sisinya hanya dapat tersenyum geli dengan kelakuan Uri dan perlahan menarik tubuh perempuan itu agar mendekat ke arahnya. "Sudahlah, nanti saya bakal ajak kamu buat keliling. Sekarang kita fokus aja ya buat sampai ke rumah."

Sedikit kesal dengan Eric, Uri memasang wajah cemberutnya. Tetapi langsung memudar setelah mobil yang dikendarai mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan besar berlantai tiga.

"Ini rumah kita."

***

Sisi Gelap Keluarga Cameron (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang