Bab 17

198 8 0
                                    

Seperti seorang asisten, Uri sering menemani Eric pergi keluar kota untuk mengurus bisnis pria itu. Dia akhirnya tau bahwa Eric memiliki banyak bisnis yang tak terlihat, orang-orang kebanyakan tau dia hanya seorang pemilik perusahaan konstruksi tetapi ternyata, lebih dari itu Eric bahkan memiliki lebih banyak perusahaan di belakangnya.

"Kamu nggak pa-pa saya tinggal di sini?" tanya Eric pada Uri karena pria itu harus melakukan meeting dan Uri harus dia tinggalkan sebentar.

"Iya, nggak pa-pa. Lagian di sini enak kok, aku mau tidur-tiduran selama kamu meeting."

"Ya udah kalau gitu, saya tinggal ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya."

"Siap!"

Sekarang, Uri sudah dibekali sebuah ponsel pintar keluaran terbaru. Eric yang membelikannya bulan lalu karena dia kesusahan menghubungi Uri. Namun karena sudah terlalu lama tidak memegang ponsel, Uri malah terlalu asyik dan kadang mengabaikan ponsel pintar tersebut.

Sembari menunggu Eric selesai meeting, Uri melakukan apa yang dia katakan sebelumnya yaitu tidur-tiduran. Sebenarnya cuaca di luar sangat cerah, tetapi perempuan itu tidak mau pergi sendirian apalagi sekarang mereka berada di luar kota.

Di tengah kegiatannya, tiba-tiba Uri merasa lapar dan ingin makan sesuatu yang manis. Perempuan itu segera menghubungi pihak hotel dengan telepon yang berada di sisi kasurnya.

"Halo, Mbak."

"Iya, halo. Ada yang bisa saya bantu?"

"Apa saya bisa memesan makanan?"

"Bisa Mbak, mau makanan apa?"

"Makanan yang manis, kira-kira yang ready apa ya?"

"Untuk sekarang, yang ready ada brownies lava dan donat."

"Oke, saya pesen itu ya Mbak. Kamar saya ada di presidential suite."

"Oh baik, akan segera kami antar ya."

Setelah melakukan panggilan, Uri mulai bersantai sembari menyalakan televisi. Dia pikir makan sambil nonton adalah suatu yang mengasyikkan. Namun, tiba-tiba perut perempuan itu terasa begitu sakit. Duh, perut aku kenapa, ucapnya di dalam hati.

Semakin lama, rasa sakit diperut Uri semakin besar dan membuat perempuan itu nyaris pingsan, tetapi di waktu yang tepat pegawai hotel datang untuk mengantar makanan.

Sayangnya perempuan itu tidak bisa membuka pintu bahkan untuk berteriak sekalipun sehingga Uri memutuskan untuk menjatuhkan barang dan membuat pegawai hotel tersebut langsung masuk tanpa permisi.

Wajah pegawai hotel yang baru saja masuk langsung panik saat melihat Uri tengah meringkuk di atas kasur dengan dahi penuh keringat. Walau begitu, pegawai hotel tersebut langsung menghubungi rumah sakit terdekat untuk membawa Uri pergi ke sana.

"Tolong kirim ambulan ke hotel Bintang kamar Presidential Suite."

Tanpa menunggu lama, pihak rumah sakit langsung datang dan membawa tubuh lemah Uri. Perempuan itu nyaris tak sadarkan diri dan mulutnya terus memanggil nama Eric, suaminya.

"Mas, Mas Eric."

Tidak mengetahui bahwa Uri baru saja dilarikan ke rumah sakit, Eric tetap mengikuti meeting sesuai jadwal yang pria itu miliki. Namun, pikirannya tiba-tiba tidak fokus saat mendengar penjelasan dari salah satu karyawannya.

"Jadi gimana, Pak?" tanya seseorang yang menyita perhatian Eric.

"Hah, apa? Oh tentang rencana itu, iya saya setuju," jawab Eric dengan sedikit terbata. Biasanya, dia akan menjadi orang yang begitu perfeksionis dan terus meminta bawahannya untuk mengganti apa yang dia tidak sukai dalam rapat hari ini.

Rapat pun selesai dengan ditandatanganinya surat proposal yang bawahan Eric ajukan. Pria itu dengan cepat kembali ke kamar karena perasaan gelisah terus menghantuinya dan benar saja, Uri tidak ada di kamarnya.

Dengan panik, Eric menghubungi Uri. Namun ternyata, ponsel perempuan itu tertinggal di atas kasur.

Eric pun mengambil ponsel itu dan berlari pergi ke lift menuju lantai satu untuk mencari keberadaan Uri. Tetapi, tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkan pria itu.

"Maaf mengganggu, Pak. Bapak yang tinggal di Presidential s
Suite ya?" tanya orang itu yang langsung dibalas anggukan oleh Eric.

"Istri Bapak yang ada di kamar tadi dibawa ke rumah sakit, Pak. Dia tiba-tiba pingsan."

Mendengar penjelasan pegawai hotel itu, Eric langsung panik dan memegang kedua pundak pria di hadapannya yang juga sebagai pengantar makanan ke kamar Uri tadi dan membantunya.

"Kemana, kemana istri saya dibawa."

"Ke rumah sakit indah, Pak. Nggak jauh dari sini."

"Oke, makasih informasinya."

"Baik, Pak. Sama-sama."

Dengan panik, Eric menghubungi sopir yang membawanya tadi dan memintanya untuk kembali ke hotel. Setelah sampai, Eric langsung meminta diantarkan ke rumah sakit tempat Uri dibawa.

"Tolong antar saya ke rumah sakit indah."

"Baik, Pak."

Sesampai di rumah sakit, Eric langsung memberi sejumlah uang pada sopir yang mengantarnya dan pergi masuk mencari keberadaan Uri. Ternyata perempuan itu sudah dipindahkan ke ruang rawat dan kondisinya cukup stabil.

Dengan sedikit lega, Eric menatap wajah Uri yang terlihat tegang. Dahi pria itu mengerut dengan tangan yang terus mengelus pipi Uri perlahan. "Kenapa sayang? Ada yang masih sakit?" tanya Eric dengan lembut. Namun, tiba-tiba Uri menangis dan membuatnya sedikit panik.

Eric keluar dan mencari dokter untuk menangani istrinya itu. "Dok, tolong Dok. Istri saya kesakitan!" ucap Eric dengan panik. Dia pun kembali ke kamar rawat Uri dan menemui perempuan itu.

Setelah kembali diperiksa, Dokter yang menangani Uri tersenyum kecil. Matanya menatap Eric yang masih terlihat panik di sisinya. "Tenang, Pak. Istri Bapak sudah nggak pa-pa kok, kalau lagi hamil gini emang suka moodswing."

Mendengar penjelasan Dokter, Eric pun kebingungan. "Hah, maksud Dokter apa?"

"Iya, kalau lagi hamil gini, biasanya si ibu suasana hatinya suka naik turun. Tadi perutnya sakit gara-gara si adek minta diperhatiin."

Menyadari bahwa Uri hamil, raut wajah Eric berubah cerah. "Jadi, istri saya hamil, Dok?" tanya Eric dengan semangat dan Dokter di sisinya langsung menganggukkan kepala.

"Benar, istri bapak sedang hamil. Selamat ya, Pak."

Eric menerima sodoran tangan Dokter yang menangani Uri dengan senang hati, pria itu tidak menyangka akan memiliki anak sebentar lagi karena memang sejak awal dia menginginkan seorang anak dari Uri. "Makasih, Dok. Sekali lagi terima kasih."

"Iya, sama-sama. Saya pergi dulu ya, untuk obat yang tadi saya berikan jangan lupa dimakan ya."

Dokter berbicara dengan Uri yang langsung dijawab anggukan oleh perempuan itu.

Setelah Dokter pergi, Eric langsung mendatangi Uri dan bersiap memeluknya. Namun, perempuan itu menolak. "Nggak, nggak mau dipeluk sama Mas!"

"Loh, kenapa?" tanya Eric dengan dahi mengerut.

"Mas, aku belum siap punya anak."

"Kamu tenang aja, nanti saya sewa babysitter buat ngurus anak kita."

"Tapi, Mas ... ."

"Sudahlah, kamu nggak usah banyak pikiran. Nanti berpengaruh sama kehamilan kamu," potong Eric yang membuat Uri langsung terdiam. Tangannya perlahan mengusap perut yang ternyata memang lebih besar dari sebelumnya dan dia baru menyadarinya sekarang.

***

Sisi Gelap Keluarga Cameron (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang