Pintu bangunan utama yang menjadi rumah orang tua Eric kini terbuka secara perlahan, saat masuk ada beberapa pelayan yang langsung menyambut sama seperti saat di rumah Eric. Bedanya, pelayan yang ada di rumah tersebut lebih banyak karena bangunannya yang cukup luas.
"Selamat sore, Tuan Eric. Ibu sedang ada di taman. Mari saya antar."
Pelayan yang baru saja berbicara mulai berjalan mendahulu Eric juga Uri. Kedua orang itu layaknya sepasang kekasih yang begitu romantis karena terus berpegangan tangan.
Sesampai di depan seorang wanita paruh baya yang tengah sibuk merajut, pelayan tersebut berhenti dan kedua orang di belakangnya melakukan hal yang sama. "Tuan Eric sudah datang, Bu," ucap pelayan itu sebelum akhirnya pamit untuk pergi.
Suasana tiba-tiba berubah tegang saat Ibu Eric yang bernama Tari enggan untuk menatap anaknya apalagi Uri yang perempuan itu tak kenal.
Karena menunggu cukup lama respon dari sang ibu, Eric memutuskan untuk menarik sebuah kursi dan duduk di sana. "Saya tau ibu mendengar semuanya, mau tidak mau, ibu harus menerima dia."
Dia yang Eric maksud adalah Uri, pria itu sudah menjelaskan semuanya pada sang ibu walau tidak ada respon dari perempuan tersebut. "Kalau itu jawabanmu, untuk apa kamu ke sini? Toh, kamu tidak butuh persetujuan apapun dari saya."
Kepala Tari enggan mendongak untuk menatap sang anak, dia sudah terlalu muak dengan keputusan yang Eric ambil mengenai Uri. Ya walaupun Eric menikah tanpa cinta dengan Rona. Namun, perasaan mulai tersakiti karena sang anak enggan untuk mendengar pendapatnya lagi.
"Saya datang hanya untuk memperkenalkan Uri, saya mau ibu tau dia dan mau menerimanya," ucap Eric dengan nada memohon yang membuat gerak tangan Tari mendadak berhenti.
Perlahan, wajah perempuan paruh baya itu terangkat, menatap sang anak yang duduk di hadapannya. Lalu beralih pada perempuan muda di belakang pria itu. Perempuan itu adalah Uri.
Uri tersenyum kecil ke arah Tari, dia tidak tau harus berbicara apa sehingga memutuskan hanya diam sampai Eric memintanya untuk berbicara.
"Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini," jelas Eric singkat. Namun, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke dalam telepon pria itu. "Saya angkat telepon dulu ya."
Tatapannya beralih pada Uri yang masih berdiri, setelah bangun pria itu menyuruh Uri untuk duduk di kursi bekasnya. "Duduklah, saya mau angkat telepon dulu."
Dengan ragu, Uri mengangguk kepalanya dan duduk tepat di hadapan Tari yang terus memperhatikannya. Mata Uri tak bisa diam saat kegelisahan mengitarinya.
"Apa kamu yakin akan tinggal di sini?" tanya Tari tiba-tiba yang menyita perhatian Uri.
Tatapan keduanya beradu, tetapi Uri terlebih dahulu mengalihkannya. Dia sendiri ragu dengan keputusan yang dia ambil.
"Apa kamu ragu?" tanya Tari lagi seakan mengetahui apa yang Uri pikirkan.
Mulut Uri tertutup rapat tanpa tau harus menjawab apa. Dia hanya berharap Eric cepat kembali dan membawanya pergi.
"Satu hal yang perlu kamu tau," ucap Tari lagi yang kemudian menyita perhatian Uri. Dia benar-benar ingin mengetahui apa yang ibu Eric akan katakan karena perempuan paruh baya itu sengaja menggantungnya.
"Apa? Apa yang perlu saya tau?" Akhirnya Uri mengeluarkan suaranya, dia sudah tidak sabar menunggu Tari kembali berbicara.
"Saat kamu sudah menjadi bagian keluarga Cameron, kamu tidak akan bisa keluar lagi."
Tepat setelah Tari selesai berbicara, Eric tiba-tiba datang dan membawa Uri pergi. Keduanya kembali ke rumah karena Eric harus pergi ke perusahaannya dan meninggalkan Uri di rumah sendirian.
Apa maksudnya? Kenapa katanya aku nggak bisa keluar dari sini lagi? Kepala Uri dipenuhi banyak pertanyaan setelah selesai bertemu dengan Tari, perempuan paruh baya itu terlihat begitu misterius dengan raut wajah datar yang membuat Uri tidak bisa menebak apa yang dia tengah pikirkan.
"Ih, kepala aku jadi pusing!" omel Uri setelah berjam-jam memikirkan apa yang Tadi ucapkan. Perempuan tersebut kemudian bangkit dari tidurnya dan keluar dari kamar, menuju lantai satu dan masuk ke area dapur.
Dengan santai, Uri membuka kulkas di sana untuk mencari makanan atau minuman yang bisa dia konsumsi. Sayangnya, dia hanya menemukan bahan-bahan makanan di dalam kulkas besar tersebut.
Seorang pelayan tiba-tiba datang dari arah belakang Uri dan mengagetkannya. "Astaga, aku kira hantu," ucap Uri sembari mengusap dadanya.
Pelayan itu tersenyum dan kembali memerhatikan Uri. "Maaf, Mbak saya ngagetinnya."
"Enggak kok, aku aja yang kagetan hehe."
Keduanya saling bertatapan cukup lama sebelum pelayan itu kembali berucap. "Ada yang bisa saya bantu?"
Uri memajukan bibirnya, berpikir kata apa yang pantas untuk dia ucapkan mengenai isi kulkas di sisinya. "Hmm, ini kulkas nggak ada isi makanan atau minuman ringan apa?"
Pelayan itu mengangguk paham dengan pertanyaan Uri dan menjawabnya. "Mas Eric memang tidak terlalu suka dengan makanan ringan, begitupula Mbak Lona. Jadi, kulkas hanya hanya diisi dengan bahan makanan."
Memahami konsep rumah Eric yang ternyata begitu aneh. Uri pun mengangguk pelan. "Oh gitu. Ya udah deh, kalau gitu aku mau keluar bentar ya. Mau beli makanan."
"Eh, jangan Mbak!" tahan Pelayan tersebut yang membuat Uri berhenti melangkah. Perempuan itu membalik tubuhnya dan menatap heran ke arah pelayan.
"Kenapa? Aku nggak boleh keluar ya?"
Dengan raut wajah tak enak, pelayan itu menganggukkan kepalanya. "Maaf, tapi Mbak nggak boleh keluar rumah kalau Mas Eric nggak di rumah."
Helaan napas keluar dari mulut Uri, dia ingin menolak tetapi tidak bisa karena rumah itu adalah milik Eric dan bukan miliknya sehingga perempuan itu harus patuh pada peraturan tak tertulis yang ada.
"Ya udah deh, kalau gitu aku balik ke kamar ya."
Setelah beberapa kali melangkah, Uri kembali berhenti dan membalik tubuhnya untuk menatap pelayan yang masih berdiri di tempat yang sama. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Uri yang membuat pelayan itu salah tingkah. Untuk pertama kalinya, ada yang ingin mengetahui nama pelayan di sana.
"Saya Adina Jelita, Mbak. Mbak bisa panggil saya dengan nama Dina."
"Oke, Dina. Aku Gauri Elina, panggil aku Uri ya."
"Baik, Mbak Uri."
Uri terus tersenyum saat kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua, walau sedikit bosan berada di rumah mewah itu, Uri tetap harus sabar menunggu sampai Eric pulang.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Uri akhirnya bisa menonton televisi di ruang keluarga rumah Eric. Perempuan itu asyik menonton sebuah film yang tayang di salah satu stasiun TV, filmnya begitu menarik hingga membuatnya tidak sadar jika seseorang baru saja masuk ke dalam rumah.
Dari kejauhan orang itu tersenyum, sembari tangannya melonggarkan dasi yang cukup lama dia gunakan. Beberapa pelayan pun datang dan ingin mengeluarkan suara. Namun, orang itu dengan cepat menahannya. "Jangan berisik!"
Para pelayan langsung membantu orang yang baru saja masuk dan kemudian meninggalkannya setelah selesai dengan tugas mereka.
Orang itu perlahan berjalan maju dan saat tepat di belakang sofa yang Uri duduknya, dia membungkuk dan memeluk perempuan itu dari belakang. "Asyik banget sih nontonnya," bisik orang itu yang sebenarnya adalah Eric.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Gelap Keluarga Cameron (End)
Romance~Glorious Writing Contest 2023~ "Saat kamu sudah menjadi bagian keluarga Cameron, kamu tidak akan bisa keluar lagi." Gauri atau lebih sering disapa Uri, membutuhkan cukup banyak uang untuk membayar utang yang ditinggalkan ke dua orang tuanya sebelum...