Tepat pukul 12 malam, Uri dan Eric sampai di rumahnya. Karena terlalu mabuk, Uri sampai harus digendong oleh Eric sampai ke kamar mereka. Selama perjalanan, Eric tak henti-hentinya mengomeli Uri yang tidak sepenuhnya sadar.
Saat makan malam, Axel dan Ivan terus memberikan Uri minuman beralkohol sehingga membuat perempuan itu tak sadarkan diri karena tingkat toleransi alkoholnya yang rendah.
"Sudah saya bilang, kalau nggak mau nggak usah!" omel Eric lagi setelah merebahkan tubuh Uri di atas kasur. Kini perempuan itu tengah bergerak lambat, mencari tempat yang nyaman dan mulai tertidur pulas.
Keesokan harinya, tidur Uri terganggu dengan sinar matahari yang langsung menerpa wajahnya. Dengan mata yang masih tertutup, tangan Uri menjelajah mencari Eric yang ternyata sudah hilang entah kemana. Ah, aku telat bangun kayanya.
Perlahan, Uri membuka matanya dan mendapati sisi perempuan itu yang kosong tanpa penghuni. Kepalanya yang sedikit sakit langsung dia pegangi juga pijat secara pelan. Saat ingin bangun, perempuan itu merintih kesakitan. Duh, kok bawah aku sakit sih! keluhnya di dalam hati
Wajah Uri menunduk, menatap tubuhnya yang ternyata tidak mengenakan apapun. Tanpa hitungan yang panjang, perempuan itu langsung berteriak dan membuat Dina yang berada di lantai satu berlari ke kamarnya.
"Mbak, kenapa, Mbak?" tanya perempuan itu dengan panik setelah masuk ke dalam kamar Uri.
Panik bercampur takut, Uri langsung menyelimuti penuh tubuh telanjangnya. "Aku abis ngapain?" tanya Uri yang ikut membuat Dina kebingungan.
"Maksudnya?"
"Aku nggak pake apa-apa!" ucap Uri lagi dengan sedikit berteriak.
Dina yang semakin khawatir dengan kondisi Uri langsung naik ke atas kasur dan mendekat. Tangannya perlahan mengusap tubuh Uri agar perempuan itu dapat tenang.
Setelah dirasa kondisi Uri sudah membaik, Dina meninggalkannya dan langsung menghubungi Eric untuk memberitahukan kondisi perempuan itu.
Tanpa disangka, respon bosnya malah hanya tertawa dan meminta Dina untuk membiarkan Uri. Dia mau menenangkan perempuan itu sendiri saat pulang dari kantor nanti.
Di dalam kamar mandi, Uri menatap dirinya yang penuh dengan bekas ciuman. Tak hanya di leher, tetapi juga ada di beberapa bagian lainnya. Perempuan itu akhirnya sadar dengan apa yang terjadi semalam. Berarti semalem aku sama Mas Eric ngelakuin itu?
Uri tidak bisa membayangkan apa yang terjadi semalam, walau tidak sadar, tetapi dia yakin ada hal memalukan yang dia lakukan karena sebelumnya Uri juga melakukan hal tersebut bersama mantan kekasihnya.
Seharian, Uri menjadi pendiam dan membuat Dina sedikit khawatir. Saat perempuan itu bertanya pun, Uri hanya menjawab seadanya dan terlihat tidak peduli dengan apa yang Dina sampaikan.
Saat malam tiba, Eric yang baru datang langsung masuk ke kamarnya dan mendapati Uri tengah tertidur membelakanginya. Pria itu langsung naik ke atas kasur dan memeluk Uri dari belakang. "Kok tidur cepet sih?" bisik Eric yang tidak membuat Uri meresponnya.
Karena sedikit mengganjal, Eric langsung membalik tubuh Uri dan menemukan perempuan itu tengah menangis. "Hey, kenapa kamu nangis?" tanya Eric yang langsung membuat Uri menggeleng pelan.
"Gara-gara semalem? Oke, saya minta maaf. Tapi ... ."
"Nggak usah minta maaf, Mas. Aku tau kok, aku yang salah. Kalau lagi mabuk aku suka nggak waras gitu," potong Uri di sela tangisnya.
Eric kembali mengambil posisi untuk tidur di sisi Uri sembari bertatapan dengan perempuan itu. "Sorry ya. Saya juga nggak bisa nahan semalem."
"Iya, nggak pa-pa, Mas."
Merasa percakapannya tidak akan menghasilkan apa-apa, Eric langsung membawa tubuh Uri ke dalam pelukannya. Dia sebenarnya senang karena bisa melakukan 'itu' dengan Uri, tetapi tidak menyangka jika respon perempuan itu begitu berbeda.
"Mas," panggil Uri dengan suara serak.
"Iya, kenapa?"
"Kalau aku hamil gimana?" tanya Uri dengan sedikit gelisah. Sebenarnya hal itulah yang dia pikirkan seharian ini karena status hubungannya dengan Eric yang tidak jelas.
"Kamu nggak usah khawatir, saya pasti bertanggung jawab kok. Saya malah seneng kalau kamu hamil, jadi saya bisa punya anak."
"Tapi kan, kita nggak punya hubungan apa-apa," cicit Uri dengan pelan.
"Hmm, sebenernya saya nggak mau cerita ini ke kamu. Tapi, kayanya kamu harus tau."
Ucapan Eric membuat Uri bingung, apa yang dia maksud dan tidak Uri ketahui sampai saat ini.
"Sebenernya, saya sudah bikin surat nikah sama kamu setelah kamu balik dari rumah sakit. Saya tau, kamu pasti khawatir sama hubungan kita. Ya setidaknya, kita legal di mata hukum."
"Maksud Mas, hubungan kita udah suami istri?"
"Iya, kamu mau liat surat nikah kita?"
Eric beranjak dari kasur dan pergi membuka salah satu pintu lemari. Di sana, ada sebuah brangkas besar yang berisi banyak map juga uang tunai. Mata Uri terus memperhatikan isi brangkas tersebut sampai benda berbahan baja itu ditutup kembali oleh Eric.
Setelah kembali, Eric menyodorkan dua surat nikah. Miliknya dan juga milik pria itu. Di sana, jelas tertulis Uri yang berstatus sebagai istri Eric. Lebih tepatnya, istri kedua.
"Gimana caranya Mas buat ini?" tanya Uri dengan hati-hati. Tidak mudah untuk Eric melakukan hal itu jika dia orang biasa. Namun, Eric bukanlah orang biasa.
Menanggapi pertanyaan Uri, Eric hanya tersenyum kecil dan mengecup dahi perempuan tersebut. "Kamu nggak usah pusing mikirin gimana cara bikinnya, yang penting kita udah sah ya walaupun nggak ada resepsinya. Nggak pa-pa, kan?"
Sama seperti perempuan lain, Uri juga menginginkan pernikahan bersama pria pilihannya. Namun mengingat kondisinya sekarang, dia harus mengubur semua keinginannya itu. "Iya, nggak pa-pa kok, Mas."
"Ya udah, saya mandi dulu ya."
Sejak saat itu, hubungan Uri dan Eric semakin dekat. Keduanya sering pergi bersama juga bercengkrama tentang banyak hal karena memang mereka harus melakukan itu setelah tinggal bersama.
"Oh iya, Mas. Istri Mas kok nggak balik-balik sih?" tanya Uri sembari menatap pria yang tengah merangkulnya. Mereka tengah duduk santai di taman, menikmati langit malam dan juga suasana sepi. Begitu nyaman dan tentram.
"Nggak tau, saya nggak tau masalah itu."
"Loh, kok gitu? Mas kan suaminya? Kalau istri Mas kenapa-kenapa gimana?" tanya Uri lagi setelah menegakkan tubuhnya, menatap serius ke arah Eric yang terlihat meremehkan pertanyaannya.
"Dia bukan anak kecil lagi, sayang. Dia pasti bisa jaga diri."
"Mas ... ," rengek Uri bersiap memberi tanggapan lagi, namun dengan cepat Eric menarik tubuhnya untuk kembali bersandar
"Sudahlah, ngapain bicarain dia. Lebih baik kita bicarain hal lain."
Akhirnya Uri mengalah, berdebat dengan Eric tak bisa membuatnya menang. Perempuan itu kemudian bersandar di dada Eric dengan tangan yang dia taruh di perut pria itu. "Mas, kok badan Mas bisa sebagus ini sih? Perasaan Mas jarang olahraga, aku yang sering olahraga aja nggak pernah punya perut sixpack."
"Kata siapa saya jarang olahraga?"
"Kata aku tadi," jawab Uri dengan polosnya. Padahal maksud Eric bukan seperti itu.
Eric tertawa kecil menanggapi jawaban Uri. "Saya olahraga kok di kantor, kan kantor saya punya gym area juga."
"Oh gitu," balas Uri singkat. Namun, tatapannya kembali ke arah Eric yang masih memperhatikannya. "Hmm, kapan-kapan aku boleh nggak ke kantor Mas? Tapi, kalau nggak boleh nggak pa-pa kok."
Raut wajah panik Uri membuat Eric kembali gemas pada perempuan itu, tangannya perlahan mengusap lembut pipi Uri yang sedikit berisi sekarang. "Boleh kok, sayang. Kapan-kapan saya ajak ke sana ya."
Uri bersorak kencang setelah Eric berjanji akan membawanya ke kantor, walau tak tau kapan itu, tetapi Uri sangat senang sekarang. "Yeay! Makasih ya, Mas!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Gelap Keluarga Cameron (End)
Romance~Glorious Writing Contest 2023~ "Saat kamu sudah menjadi bagian keluarga Cameron, kamu tidak akan bisa keluar lagi." Gauri atau lebih sering disapa Uri, membutuhkan cukup banyak uang untuk membayar utang yang ditinggalkan ke dua orang tuanya sebelum...