—neighbor to house mate.—
Masih ingat speaker keramat?
Saat Ical jelas tau suami manisnya itu tidak akan setuju perihal membawa sepasang speaker kesayangannya ke rumah mereka dan menempatkannya di kamar.
Dengan percobaan pertama, sebuah bujukan dan rayuan manis yang kini tidak lagi mempan.
“baby, aku kan udah janji gak akan nyetel musik pagi pagi. speakernya cuma harus ditaruh disini”
Jesse memutar bola matanya malas, seraya mendengus menanggapi rengekan sang suami.
“mas beli rumah sebesar ini dan milih naruh dua speaker itu dikamar kita? there is another space in this house! or just put it in your work space!”
Lagi lagi Ical memasang wajah sedihnya.
Padahal hanya perihal speaker yang demi tuhan, benda itu bisa diletakkan dimana saja dan masih dapat memenuhi seisi rumah dengan suaranya.
Tapi Ical malah lebih senang memancing emosi Jesse.
“please, sayang? let me put it here, and all clear. ya?”
“no, nanti kamarnya penuh. kalau mau denger musik dikamar tinggal denger dari tv”
“tap—
“gak beda, mas sayang. gak ada yang beda, ok? sekarang keluarin semuanya, aku gak mau liat itu ada dikamar kita.”
Alhasil Ical mengalah, ia membopong benda kesayangannya itu dan menaruhnya apik di ruang kerjanya.
Namun masalah tidak selesai sampai disitu. Herannya, setiap rumah tangga kadang sibuk mempermasalahkan hal hal kecil.
Dan Ical benar benar merajuk, ia tidak menghiraukan Jesse sama sekali semenjak keputusan pemuda manis itu yang menolak benda kesayangannya berada di kamar mereka.
“mau makan malem pake apa?”
Jesse memutuskan untuk bertanya, setelah acara beberes selesai dan masing masing mereka membersihkan diri tanpa ada percakapan antara mereka. Jesse pikir suaminya itu hanya lelah, dan yeah..
“mas?”
“hellooww, earth to Farizal?”
Ical masih bersikukuh tidak ingin menggubris Jesse yang kini berdiri jauh dari posisinya yang tengah duduk di sofa ruang tengah.
Entah karena jengah memanggil tanpa digubris, Jesse berjalan ke arah Ical dan membuat lelaki itu menatapnya.
“mas gak denger aku manggil?”
Alih alih menjawab, lelaki itu mengedikkan bahunya lalu kembali mengalihkan pandangannya.
“mas gak mau makan malem?”
Lagi, tidak ada jawaban.
“MAS!”
“jangan teriak teriak, aku gak budeg”