—Tepuk tangan riuh terdengar usai pemberkatan. Senyum yang tersungging manis di wajah keduanya, meski pria yang satu tidak kunjung mengalihkan pandangannya dari pemuda yang baru saja resmi menjadi suaminya.
Cantik
Menggambarkan sosok Jesse yang tersenyum manis disampingnya, dengan satu tangan yang ia genggam kini tersemat cincin dijari manisnya.
Bukan Ical yang tadinya menginginkan pemuda miliknya itu tampil tanpa riasan. Karena demi tuhan, Ical tidak bisa berhenti mengagumi Jesse.
Sangat banyak, atau mungkin terlalu banyak.
Hingga dirasa genggaman ditangannya mengeras, membuatnya tersadar dari lamunannya,
Jesse mendekat dan berbisik, “aku tau aku cantik, tapi please jangan norak. kita lagi diliatin”
Ical terkekeh, “aku lagi mengagumi punya ku yang paling indah kok dibilang norak”
“mass iiih”
Salting.
Berikan selamat untuk keduanya, melihat bagaimana hari besar mereka berjalan dengan lancar.
Mari mundur ke dua bulan sebelum pemberkatan.
Pernikahan.. well, dimana mana juga gak ada yang gampang dan instan, termasuk menikah.
Beberapa kali Jesse dan Ical mendapati kesulitan dalam mengurus ini dan itu.
Termasuk Jesse yang merasa stress mengurus semuanya sendirian saat Ical harus banyak keluar kota untuk mengurus pekerjaan, pergi pagi pulang malam demi menyelesaikan pekerjaannya untuk kemudian bisa mengambil cuti menikah.
Jesse lelah, dan ia butuh Ical.
Pemuda itu mengirim pesan panjang kepada Ical, menumpahkan isi perasaannya mengatakan ia benar benar butuh kekasihnya itu untuk berada disisinya untuk saat ini.
Capek itu kan wajar, datangnya bukan dari seberapa banyak fisik kita bergerak. Banyaknya benang kusut dikepala juga bisa bikin lelah. Tekanan dari segala sudut apalagi.
Semenjak ada Ical, Jesse menjadikan lelaki itu bentuk obat dari segala rasa sakitnya.
Jesse menggantungkan segala halnya, ia menyukai Ical dengan kalimatnya yang menenangkan, selalu menyukai bagaimana pelukan Ical meluruhkan segala lelahnya.
Ia mau Ical menjadi satu satunya orang itu.
Walau begitu lelaki itu jauh, ia sedikit kewalahan..
Untuk saat ini, pesan Jesse tidak langsung dibalas, Ical sudah mengatakan kalau ia tidak akan mengecek telponnya sesering biasanya. Dan Jesse memaklumi hal itu.
Jadi lelaki itu baru menghubungi pukul 1 dini hari. Jesse masih terjaga sehabis menyelesaikan acara menangisnya dua jam yang lalu, menghembuskan nafas beratnya ketika melihat nama Ical di layar ponselnya.
“halo?”
“kok diangkat sih? mas berharapnya kamu udah tidur”
“...”
“gimana perasaannya?”
Jesse yang tadinya sudah tenang, kembali terisak kecil. Suara Ical membuatnya kembali merasakan emosi itu.