"Kira-kira apa yang mereka lakukan saat ini?" Rebecca menatap langit-langit kamar yang bercorak awan.
Malam ini Rebecca terpaksa menginap di kediaman utama Alexander. Sejak tadi ia menemani Gabrielle menangis dan mendengarkan segala keluh kesah gadis itu hingga akhirnya ia berhasil membujuk Gabrielle untuk beristirahat. Selain itu ia pun penasaran ingin menyaksikan secara langsung kemesraan Thomas dan Belinda.
Gabrielle terkekeh, suaranya masih sengau lantaran kebanyakan menangis. "Kenapa kau begitu penasaran?" Tanyanya seraya memiringkan tubuhnya, mengamati Rebecca yang tersenyum sendiri. "Kau tau? Sudah sejak lama aku menantikan momen ini." Senyumnya tersungging tipis.
Rebecca menoleh kemudian ikut memiringkan tubuhnya. "Lebih tepatnya kita yang menantikan momen ini. Kau tau? Aku sempat kehilangan harapan saat Kakakku menjauhi Kak Thomas." Hembusan nafasnya terdengar berat kala mengingat hal itu.
Gabrielle mengangguk, "Yeah, terlebih saat Kakakku semakin dekat dengan Selena. Aku benar-benar kesal saat itu." Dengusnya sebelum akhirnya menyeringai senang. "Dan, seandainya saja kau menyaksikan wajah garang wanita itu sewaktu Kakakku mengacuhkannya. Ck, kau pasti akan menertawakannya." Cemooh nya sambil geleng-geleng kepala.
"Benarkah? Apa wajahnya terlihat menyeramkan, seperti gadis-gadis yang sedang memperebutkan kekasih mereka?"
Dalam hati Rebecca mengumpat karena tidak bisa menyaksikan secara langsung wajah geram Selena. Andai saja ia datang tepat waktu, pasti akan lebih menyenangkan.
"Lebih dari itu! Matanya menyala seperti valak." Gabrielle tergelak kencang. Membayangkan kembali wajah geram Selena membuat hatinya sangat puas dan senang.
"Oh, astaga." Rebecca menutup mulutnya dengan kedua tangannya, meredam suara tawanya agar tidak terlalu keras. "Apa sungguh menyeramkan seperti itu?"
"Kau akan melihatnya secara langsung besok pagi. Sepertinya Aunty Ruby mencium niat buruk wanita itu sehingga mengijinkannya bermalam disini." Papar Gabrielle seraya mengangkat kedua bahunya.
"Bukankah wanita sejenis itu sedikit menyeramkan? Dia bisa nekat melakukan apapun agar tujuannya berhasil." Rebecca melirik Gabrielle meminta persetujuan.
"Itu gunanya kita berada diantara mereka. Kita harus bisa menggagalkan rencana wanita licik itu." Gagas Gabrielle menggebu. "Aku harap mereka segera memiliki bayi." Senyumnya mengembang kala membayangkannya.
Rebecca pun tidak mampu menahan senyum bahagianya. Gadis belia itu tersenyum hingga matanya menyipit. "Kau tau, Elle? Sebetulnya aku sangat berharap mereka memiliki bayi kembar. Bukankah Kakakmu memiliki saudara kembar? Mungkin saja garis keturunannya nanti ada yang kembar juga." Paparnya sambil tersenyum penuh sukacita.
Gabrielle mengangguk semangat dibarengi senyum yang merekah sempurna. Hatinya semakin bahagia membayangkannya. "Itu terdengar lebih menyenangkan."
Pancaran mata Rebecca berbinar cerah. "Bukankah akan sangat seru kalau kita bisa menjaga keponakan kembar kita bersama? Dan lagi, kita tidak perlu berebut untuk mendapat perhatian mereka."
"Kau benar, salah satu dari kita tidak perlu ada yang mengalah. Kita hanya perlu bertukar saja jika ingin bermain dengan yang satunya." Tanggapnya begitu senang.
Rebecca menggeleng kecil. "Sepertinya kita sudah gila karena membayangkan terlalu jauh."
"Kau benar." Gabrielle mengangguk kecil. "Bahkan mungkin malam ini mereka baru memulai prosesnya." Ia lantas tertawa. "Lagipula, dari mana kau bisa berpikir sejauh itu, Bec?"
Rebecca mengangkat kedua bahunya. "Itu terlintas begitu saja dalam otakku. Sudahlah, sebaiknya kita istirahat sekarang. Aku rasa kita akan benar-benar gila jika meneruskan pembahasan ini." Kekehnya seraya menarik selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go (Sequel Paid Brides)
Romance21++ Harap bijak mencari bacaan. Belinda Horison harus berjuang, membuktikan dirinya tidak terlibat dalam kecelakaan tragis yang menyebabkan Shara dan Robet meregang nyawa. Tudingan yang Thomas Alexander lemparkan, bagaikan bara api yang membakar...