Happy Reading 🌹🌹
Rasa sakit yang semula membelenggu hatinya seketika berganti canggung dan resah, lebih-lebih ketika Pendeta dan penata rias memasuki ruangan yang mana membuat ekspresi semua orang berubah dalam sekejap. Dari tempatnya berdiri Belinda dapat merasakan serta menyaksikan dengan jelas keraguan membayangi wajah Thomas. Belinda juga melihat rahang Barron mengeras seakan-akan pria itu tengah berperang melawan amarahnya sendiri. Disamping itu ia juga melihat ekspresi aneh yang ditunjukkan Edward dan Charlie. Dan yang membuat perasaannya semakin terganggu adalah saat melihat ekspresi keterpaksaan yang ditunjukkan oleh Devan, pria itu seakan sedang berusaha terlihat baik-baik saja ditengah kebimbangan hatinya.
"Apa kau yakin?" Sandra menatap Exel pedih, wajah dipenuhi air mata. Anggukan lemah dari Exel membuat hatinya hancur tak bersisa. Kepalanya menunduk dengan isakan tangis yang semakin hebat.
Menyaksikan kedua orangtuanya rapuh bersamaan membuat rasa nyeri itu kembali hadir. Belinda membekap mulutnya sendiri, ikut menangisi dirinya lantaran tidak mampu keluar dari keadaan yang mendesaknya.
Marc memberikan sebuah kotak berisi cincin yang Devan sudah pesan sebelumnya. "Ini pesanan anda, Sir." Helaan nafasnya memberat kala menyaksikan Exel terbaring lemah tanpa daya.
"Kemari, sayang." Cecilia menghampiri Belinda yang menangis di belakang kursi roda. Ia memeluk lengannya tersenyum hangat. Ingin meraung-raung pun percuma sebab ia percaya segala sesuatu yang telah digariskan Tuhan akan indah pada waktunya. "Kau harus terlihat cantik di hari pernikahanmu." Setelah memperoleh anggukan kecil dari Belinda ia pun beralih menatap Thomas. "Sebaiknya kau segera mengganti pakaianmu."
Thomas membawa tatapannya ke sekeliling ruangan seraya menghembuskan nafas kencang. "Oke, Mom." Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain mengikuti alur cerita. Toh, sejak awal ia yang lebih dulu menyetujui permohonan konyol ini.
Seorang wanita memberikan setelan jas pada Thomas. "Ini pakaian anda, Sir."
Meskipun hatinya berat akan tetapi Thomas tetap meraihnya. "Thanks." Setelah mendekap setelan jasnya, ia kemudian membawa langkahnya menuju toilet dengan kecamuk yang memenuhi batinnya.
Belinda menatap kepergian Thomas dalam diam. Tidak ada lagi yang bisa ia upayakan untuk menggagalkan pernikahan konyol ini. Otaknya benar-benar kusut sehingga tidak sanggup memikirkan apapun lagi. Kondisi Exel yang kian menurun adalah salah satu alasannya untuk tidak mendebatkan apapun lagi.
"Ayo, Sayang. Kau harus dirias terlebih dahulu." Cecilia menggiring Belinda menuju sofa kemudian mendudukkannya di sana.
"Apa aku benar-benar harus menikah sekarang, Aunty?" Belinda mendongak, memindai iris biru terang yang kerap memancarkan kilau kehangatan.
Cecilia tersenyum seraya mengelus lembut kepala Belinda. "Yeah. Dan aku ingin melihatmu bahagia di hari pernikahanmu, oke?"
Belinda tercenung. Bahagia? Apakah pantas ia meraih kebahagiaan disaat kondisi Exel sedang memburuk? Ditambah lagi saat ini Shara dan Robert tengah berjuang melawan maut di atas meja operasi. Rasanya sangat tidak pantas jikalau ia tersenyum bahagia sementara ada jiwa-jiwa yang tengah diliputi kegelisahan.
Cecilia menghela nafas. Sampai dititik ini ia tau persis apa yang Belinda risaukan sebab ia pun pernah berada di posisi yang serupa. Dinikahi lantaran keadaan mendesak merupakan takdir yang paling menyakitkan yang pernah dirasakannya. Saat itu Cecilia bukan cuma menyiksa batinnya sendiri namun ia juga telah membohongi serta membodohi banyak pihak, terlebih saat mengucapkan ikrar di depan Pendeta. Ia benar-benar merasa sangat berdosa kala itu.
Cecilia kembali mengelus kepala Belinda sehingga wanita muda itu menatapnya. "Percayalah padaku, semua sudah menjadi takdirmu. Setidaknya, berikan senyum terbaikmu untuk Papamu dihari pernikahanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go (Sequel Paid Brides)
Romance21++ Harap bijak mencari bacaan. Belinda Horison harus berjuang, membuktikan dirinya tidak terlibat dalam kecelakaan tragis yang menyebabkan Shara dan Robet meregang nyawa. Tudingan yang Thomas Alexander lemparkan, bagaikan bara api yang membakar...