Sesampainya di markas, Lizz dan Ryan langsung masuk ke dalam ruangan latihan. Lalu Lizz mencoba menggunakan kartu akses agennya pada pintu di ruangan latihan. Anehnya, kartu itu masih berfungsi. Meskipun Lizz boleh masuk ke markas, Lizz tidak mengira bahwa kartu aksesnya juga tidak dinonaktifkan setelah dia berhenti.Ruang latihan tampak ramai oleh anggota-anggota yang berlatih. Lizz mengenal sebagian besar anggota di sana, walaupun hanya sebatas nama dan profile background mereka saja. Di sana ada lapangan tembak dan berbagai track latihan indoor yang menyerupai simulasi medan seperti hutan, bangunan gedung tertutup, dll.
Lizz masuk ke area lapangan tembak. Di sana ia tidak mengambil senjata untuk latihan, tetapi Lizz mengambil perlengkapan senjata di lemari senjata di sana untuk dimasukkan ke dalam tasnya. Akhir-akhir Ini amunisinya banyak terpakai sehingga persediaan yang dimilikinya semakin sedikit. Ditambah lagi, Lizz sudah tidak bisa kembali ke rumahnya. Dia tidak tahu apakah masih ada musuh di sana. Jadi, opsi untuk kembali ke runah terpaksa dieliminasi demi menghindari risiko.
Lizz mengambil beberapa jenis pistol. Ia mengambil pistol Walther PPQ M2, Glock 43X, Smith & Wesson M&P Shield EZ. Ketiganya memiliki berat yang ringan Dan mudah digunakan ketika sedang bergerak. Selain itu untuk berjaga-jaga Lizz juga mengambil pisau Commando Fairbairn-Sykes dan pisau lipat Benchmade Griptilian yang memiliki alat pemecah kaca di ujungnya. Tidak lupa, Lizz mengambil peluru sebanyak yang dapat dimasukkannya ke dalam tas.
"Ryan, kau juga ambil senjata dan masukkan ke dalam tas itu." Lizz menunjuk tas kosong di depannya.
Ryan memilih senjata api Glock 17 dan Beretta 92. Sedangkan untuk pilihan pisau, pilihan Ryan jatuh pada pisau Spyderco Paramilitary 2. Dia tidak mengambil banyak senjata karena Ryan lebih memilih untuk memenuhi tas di depannya dengan cadangan peluru. Berbeda dengan Lizz yang lebih berpengalaman darinya, Ryan lebih menyukai bertarung dengan senjata api dibanding pisau. Jadi, peluru merupakan hal yang sangat penting baginya. Pertarungan jarak dekatnya cukup bagus namun dia terkadang masih menghadapi kesulitan saat melawan profesional.
Setelah semua senjata dimasukkan, Lizz memberi sinyal dengan matanya agar Ryan pergi terlebih dahulu. Jika mereka pergi berdua membawa tas besar, mereka akan dicurigai. Lebih baik mereka pergi terpisah dan bertemu kembali di samping markas nanti.
Sejak pertama kali Ryan menjadi anggota di organisasi ini atas rekomendasi Lizz, Ryan tidak pernah memakai kartunya. Bahkan saat masuk tadi, kartu yang dipakai adalah kartu akses Lizz. Oleh karena itu, Ryan merasa sedikit gugup ketika melewati parameter keamanan di dekat pintu ruangan latihan. Bagaimanapun tempat ini adalah sarang pembunuh bayaran dan dia hanyalah anggota baru. Jika dia ketahuan mencuri senjata dengan mantan agen, bisa-bisa mereka dihujani peluru oleh sekeliling mereka. Ryan menarik napas lalu dia menempelkan kartu anggotanya di atas sensor.
Satu detik berlalu. . .
Dua detik berlalu. . .
Ryan menahan napasnya karena cemas.
"Mengapa lampu sensornya tidak berubah menjadi warna hijau?" batinnya.
Tiga detik berlalu
.
.
.
TING
Akhirnya warna sensor berubah menjadi hijau. Tanpa buang-buang waktu, Ryan segera keluar dari ruang latihan.
Setelah melihat Ryan keluar dengan ekor matanya, Lizz mulai berjalan santai ke arah pintu keluar. Dia mencoba tidak terlihat mencolok dengan tas besar di tangan kanannya. Lalu Lizz menempelkan kartunya ke sensor. Setelahnya, ia berjalan keluar dari markas dengan langkah cepat.
Lima menit kemudian, Lizz dan Ryan bertemu di tempat Lizz memarkirkan motornya sebelumnya. Mereka siap untuk pergi.
Awalnya Lizz mengajak Ryan ke markas untuk berlindung, namun Lizz tidak ingin melibatkan anggota-anggota di sana jika terjadi konflik nantinya. Sebab Lizz tidak mengetahui pihak mana yang menyerangnya dan apa motifnya. Namun, jika dia Dan Ryan berlindung di markas dalam jangka waktu yang panjang, Lizz takut dia akan menyeret organisasi ke dalam konflik dengan pihak yang entah apa motifnya.
"Kemana kita akan pergi?" tanya Ryan menyadarkan Lizz yang tenggelam dalam pikirannya.
"Kau akan tahu nanti, pertama-tama kita harus menghilangkan jejak kita, " jawab Lizz sambil naik ke atas motornya. Ryan ikut naik ke atas motor. Lizz memasukkan kunci motor dan memutar kuncinya. Lalu, ia memutar kuncinya dan menekan tombol starter. Kemudian, kakinya menginjak pedal gas dan mesin motornya pun meraung.
Setelah Lizz dan Ryan keluar dari area markas, tanpa mereka ketahui ada orang yang mengawasi mereka dari kamera CCTV.
Lizz membawa Ryan ke pinggur sebuah danau. Lizz memberhentikan motornya. Lalu tepat setelah mereka berdua turun dari motor, Lizz mendorong motor itu ke dalam danau membuat Ryan berteriak karena kaget, bingung, dan marah.
"APA YANG KAU LAKUKAN?"
Lizz dengan wajah santainya menjawab, "Tentu saja menghapus jejak kita seperti yang tadi aku katakan."
"Dengan mendorong satu-satunya kendaraan yang kita miliki ke dalam danau?" Ryan berkata dengan sarkastik.
"Tenang saja, aku punya rencana." Lizz menepuk bahu Ryan untuk menenangkannya.
Mereka berdua berjalan keluar dari area danau dan masuk ke area pemukiman warga di dekat danau. Pemukiman warga itu padat penduduk. Jarak antara rumah di sana sangat sempit. Bahkan mereka harus menyusuri beberapa gang kecil yang berukuran kurang dari satu meter lebarnya.
Mereka sudah berjalan selama dua puluh menit lamanya, namun belum ada tanda-tanda Lizz akan berhenti berjalan. Ryan yang berjalan di belakangnya hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub dengan perilaku Lizz. Baginya Lizz bagaikan sebuah misteri. Jika di mata orang normal lainnya, hidup Ryan seperti sebuah cerita film fiksi aksi. Bagi Ryan, hidup Lizz lebih rumit lagi dari hidupnya. Bayangkan saja, jika dilihat dari penampilan Lizz yang masih muda, bagaimana bisa perempuan seperti Lizz menghadapi semuanya dengan begitu tenang dan misterius.
Sejak Lizz menyelamatkannya dari jeratan mafia pasca kejadian di sekolah dulu dan setelah Ryan menemani Lizz bersekolah, Ryan masih bertanya-tanya akan identitas Lizz. Bahkan ketika mereka tinggal di satu rumah yang sama, Ryan tidak bisa menemukan latar belakang Lizz sama sekali. Tidak ada foto keluarga, akta kelahiran, atau kerabat. Hanya ada atasan Lizz yang biasa memberi perintah.
Ryan terlarut dalam pikirannya sampai dia tidak menyadari Lizz yang berada di depannya berhenti berjalan. Ryan refleks menghentikan langkahnya. Hampir saja tubuhnya limbung ke depan dan jatuh. Ryan menengadahkan kepalanya dan melihat tempat di depannya.
"Tempat apa ini?" tanya Ryan.
To Be Continue
Enjoy reading

KAMU SEDANG MEMBACA
HEROIC GIRL
AksiLizz adalah gadis yang bertarung di garis depan perang. Memakai senjata adalah kesehariannya, berperang adalah rutinitasnya. Lalu, apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia dikirim untuk bersekolah di sekolah umum? ***...