"Ada sesuatu yang terjadi." Gumam Lizz.
*****
"Yes! Chicken dinner!" Seru salah seorang siswa yang sibuk bermain game di ponselnya.
"Kill berapa lo tadi?" Tanya temannya menyahut.
"Delapan." Ucapnya bangga.
Suara obrolan memenuhi seisi kelas. Jika murid laki-lakinya sibuk bermain game, murid perempuan berbeda. Mereka memilih untuk bergosip ria.
"Lo tau gak? Kemaren gue ketemu cowok mirip sama aktor Net*lix pemeran film Love Lies."
"Gak mungkin! Muka kayak dia mah biasanya cuma ada di benua Eropa sana."
"Gak, yang gue lihat beneran mirip dia. Gue sampe nengok dua kali buat mastiin."
Tok Tok Tok
Suara pintu kelas diketuk dengan keras. Semua murid di kelas kontan panik. Mereka segera menyimpan ponsel dan pura-pura membuka buku. Para murid di kelas itu mengira guru yang datang.
Ketika pintu kelas terbuka, masuk beberapa orang berpakaian rapi. Orang-orang itu adalah orang-orang yang sempat dilihat Lizz lewat jendela. Lizz menatap ke arah sabuk pistol yang diletakkan di belakang punggungnya.
"Itu revolver Smith & Wesson 38." Batin Lizz
Mereka hanya berjumlah 4 orang, tetapi dengan jumlah sandera sebanyak ini Lizz tidak bisa berbuat gegabah. Jika Lizz tidak menumpas mereka bersamaan, rekannya akan mencelakakan murid yang lain.
Lizz berpikir, "Andai saja aku punya pistol juga. Aku bisa menembak mereka semua dalam hitungan detik."
Setelah itu Lizz teringat dengan perintah Mr. Aldrich kemarin malam.
"Jangan-jangan ini adalah alasan mengapa aku disuruh membawa senjata."Lizz sedikit menyesal karena mengabaikan perintah atasannya, tetapi selebihnya dia merasa tertantang untuk menghadapi musuh yang lebih banyak tanpa senjata. Hal ini dianggap Lizz sebagai latihan untuk menghadapi berbagai situasi.
Teman-teman sekelas terdiam kaku sambil sesekali berbisik dengan teman sebangku mereka. Mereka hanya mengira orang-orang itu adalah guru pengganti karena orang-orang itu belum mengeluarkan senjatanya.
Teman sebangku Lizz menyenggol lengan Lizz dan membuat Lizz menoleh.
"Muka mereka tampak asing dan gak kayak guru." Bisiknya pelan pada Lizz.
"Iya." Balas Lizz singkat. Lizz tidak mau memberitahu yang sebenernya karena hanya akan memicu kepanikan.
Drrt Drrt
Ponsel Lizz bergetar tanda ada pesan masuk. Lizz cepat-cepat mengusap layar ponsel untuk membuka pesan.
Mr. Aldrich: Penyusup di sekolahmu berasal dari kelompok Xazquez. Mereka adalah kelompok dari daerah Spanyol.
Aku balas mengetik
Lizz: Lalu mengapa mereka ada di sini?"
Mr. Aldrich: Kelihatannya ada salah satu orangtua teman sekolahmu yang terlihat dalam bisnis gelap mereka. Saat ini mereka ingin menemukan anaknya dan mengancam orangtuanya.
Lizz: Apa aku harus ikut campur?
Mr. Aldrich: Ya, kau harus menghentikan mereka. Mereka mengincar anak bernama Terissa Sevira. Kalau mereka mendapatkan anak itu, mereka akan mendapat dukungan dana untuk misi mereka.
Lizz: Oke, aku akan membereskan mereka.
Lizz meletakkan ponselnya di meja dan melihat ada penggaris besi tergeletak di sebelahnya.
Lizz memegang penggaris besi yang cukup panjang itu dan berkata dengan pelan, "Boleh pinjam gak?"
Teman sebangku Lizz menggangguk sebagai jawaban. Dahi teman sebangkunya tampak berkerut karena bingung.
"Kan belom ada tugas, penggarisnya buat apa?" Pikirnya.
Tiba-tiba salah satu kelompok Xazquez itu mengeluarkan pistol mereka dan mengancam, "Semuanya, diam!"
Murid-murid seisi kelas terkesiap. Beberapa murid terperangah dengan mulut terbuka dan sebagian mengkeret ketakutan.
"Beritahu kami yang mana anak bernama Terissa Sevira?!" Ucapnya sambil mengacungkan pistolnya ke arah para murid.
Terissa yang berada di barisan belakang menggigit bibirnya dengan cemas. Dalam hati ia ketakutan dan ingin berteriak, tetapi yang mampu dilakukannya saat ini adalah berharap supaya teman-teman sekelasnya tidak mengungkapkan identitas dirinya.
"Yang mana yang bernama Terissa? JAWAB!" Anggota Xazquez itu menodongkan pistolnya ke kepala seorang murid di barisan depan.
"Aa...D-dia ada d-d-di belakang." Jawabnya tergagap karena ketakutan.
"Di belakang dimana nya?" Tanyanya lagi.
"Ba-barisan dua d-dari kiri." Jawabnya.
Orang-orang itu langsung berjalan ke barisan belakang. Begitu sampai di meja Terissa, mereka langsung menarik Terissa hingga berdiri.
"Gue bukan Terissa." Sangkal Terissa.
"Benarkah?" Salah satu kelompok Xazquez itu menaikkan sebelah alisnya dan menatap tajam ke arah Terissa.
"B..be..ner." suara Terissa terputus-putus.
Anggota Xazquez mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Sebenarnya kami sudah tahu yang mana yang bernama Terissa. Kami hanya bermain-main saja saat menanyakan itu pada murid-murid."
Wajah Terissa seketika memucat. Matanya terbelalak dan tubuhnya mulai gemetaran.
Tangannya ditarik paksa dan dia dibawa menuju keluar kelas. Teman-teman sekelasnya menatap Terissa dengan berbagai ekspresi . Teman karibnya dari 4 Angeles menatap Terissa kasihan. Ada juga yang menatap Terissa dengan puas seolah dia mendapatkan karmanya.
Sebelum Terissa berhasil dibawa keluar kelas, Lizz berjalan ke depan kelas dengan penggaris besi sebagai satu-satunya senjata. Penggaris besi itu disembunyikan di belakangnya.
"Boleh izin ke toilet tidak?" Tanya Lizz pada para anggota Xazquez.
Orang-orang yang mengenakan jaket serba hitam itu memicingkan mata menatap Lizz dengan tatapan menyelidik. Setelah menatap beberapa saat, salah satu diantaranya menjawab, "Terserah."
Lizz berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. Setelah berada di luar kelas, Lizz tidak pergi ke toilet. Itu hanya siasatnya saja. Dia lebih suka melakukan serangan kejutan karena menghindari tembakan dari jarak dekat sangat merepotkan.
Lizz menunggu di belakang tiang dekat tangga. Begitu melihat kelompok Xazquez yang membawa Terissa, Lizz memegang penggaris besi itu dengan erat.
Tap Tap Tap
Suara langkah terdengar semakin jelas. Lizz memfokuskan diri pada indera pendengarannya. Begitu jarak mereka hanya sekitar 5 meter jauhnya, Lizz melangkah tanpa suara.
Anggota Xazquez yang sedang sibuk menarik dan menginterogasi Terissa tidak menyadari keberadaan Lizz.
Kemudian Lizz meletakkan penggaris pedangnya ke leher anggota Xazquez yang berjarak paling dekat dan menggoreskan ujung penggaris itu ke lehernya. Kombinasi antara kecepatan tinggi dan ketajaman ujung penggaris itu tidak main-main.
Lizz berhasil mengiris pembuluh darah di lehernya hanya menggunakan penggaris besi. Prosesnya berlangsung dengan sangat cepat. Bahkan si target tak mampu memberikan reaksi perlawanan. Dia pun terjatuh dengan darah mengucur dari lehernya.
Anggota yang lainnya terkejut, mereka masing-masing langsung mengeluarkan pistolnya.
To Be Continue
Update lagii.... Maaf ya pendek.
Tapi author kali ini updatenya lebih sering. Mohon dimaklumi.Jangan lupa vote & comment nyaa.
Cerita ini 100% hanya fantasi. Jika ada kesalahan nama dll tolong diabaikan saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
HEROIC GIRL
AksiLizz adalah gadis yang bertarung di garis depan perang. Memakai senjata adalah kesehariannya, berperang adalah rutinitasnya. Lalu, apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia dikirim untuk bersekolah di sekolah umum? ***...