Dua hari kemudian..
Pihak organisasi sudah mengurus data-data identitas dari Ryan. Ryan akan masuk ke sekolah SMA Erlangga sebagai anak dari duta besar yang tentu saja bohong. Data-data itu hanya buatan. Baik rapor maupun ijazah Ryan adalah rekayasa. Nama, tanggal dan tempat lahir Ryan sengaja dipalsukan agar identitas Ryan tidak ketahuan. Nama asli Ryan yang merupakan Ryan Rodriguez Arian diganti menjadi Ryan Miller.
Lizz datang ke sekolah sekitar setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Kelasnya sudah ramai oleh teman-teman sekelasnya yang duduk mengobrol satu sama lain. Begitu melihat Lizz, teman-teman sekelasnya langsung menghambur menghampiri Lizz yang bahkan belum meletakkan tas-nya di kursinya.
Kebanyakan dari mereka menanyakan keadaan Lizz dan alasannya tidak masuk kemarin.
"Apa kau terluka Lizz?"
"Mengapa kemarin kau tidak masuk sekolah?"
"Kau tidak apa-apa kan?"
Lizz merasa asing terhadap perhatian teman-temannya. Dia belum pernah menerima perhatian seperti itu. Biasanya jika dia terluka, rekannya akan membawanya ke tenda medis. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan oleh teman-teman sekelasnya itu. Dia tidak terbiasa namun tidak merasa hal itu merupakan suatu hal yang buruk.
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak masuk kemarin karena aku sedang ada urusan keluarga." Jawab Lizz.
Teman-temannya ber-oh ria. Kemudian meneliti penampilan Lizz dan menemukan bahwa Lizz sangat baik-baik saja tanpa kurang suatu apapun. Setelah itu akhirnya mereka mulai kembali ke meja mereka masing-masing. Ada beberapa teman Terissa yang menawarkan obat P3K kepadanya jika dia terluka.
Lizz menahan tawanya yang hampir meledak. Jika dia memang terluka karena bertarung dengan anggota Xazquez pasti setidaknya luka yang didapatnya cukup parah hingga perlu dijahit. Tidak mungkin obat P3K mampu menyembuhkan luka separah itu. Obat P3K yang ditawarkan teman-teman Terissa hanya mampu mengobati luka akibat pertarungan anak-anak seperti tawuran waktu itu.
Bel masuk berbunyi, guru matematika yang juga wali kelas mereka datang ke kelas dengan seorang anak baru yang tidak lain adalah Ryan. Ryan tampak begitu tampan dengan seragam SMA-nya. Perpaduan darah latin dan campuran darah eropa membuat wajah Ryan kelihatan hot but still innocent.
Bola matanya yang berwarna hitam dengan bulu mata tebal di atasnya, serta alis tebalnya yang melengkung sempurna membuat teman sekelas Lizz terutama kaum hawa tidak bisa berhenti menatap wajah Ryan. Belum lagi tubuh Ryan yang memiliki tinggi 180-an sentimeter dengan postur tegap yang membuat para siswi panas dingin. Siswi-siswi di kelas Lizz langsung duduk manis di kursi mereka masing-masing.
Terissa malah mengusir teman sebangkunya agar kursi di sebelahnya kosong. Para siswa menatap iri dengan penampilan Ryan, sedangkan para siswi sibuk berusaha mendapat perhatian Ryan. Hanya Lizz yang menatap sekelilingnya dengan tatapan bosan. Dia sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan kehebohan di sekelilingnya. Lagipula Lizz tahu jelas bahwa Ryan akan duduk di sebelahnya.
Benar saja setelah Ryan memperkenalkan diri secara singkat dengan menyebutkan nama dan asalnya sesuai data-data yang diberikan organisasi, Ryan berjalan ke arah Lizz. Dia meletakkan tas nya di meja sebelah Lizz dan duduk disana.
Semua siswi melirik Lizz dengan iri. Namun, tidak berani untuk meminta tukar bangku dengan Lizz mengingat kejadian dua hari yang lalu. Bagaimanapun mereka berhutang budi pada Lizz yang sudah menyelamatkan mereka dari penjahat waktu itu. Jika tidak ada Lizz pasti situasi saat itu akan jauh lebih kacau.
Tetapi selagi jam pelajaran berlangsung, para siswi tetap tidak mampu menahan diri untuk melirik ke arah Ryan. Wali kelas Lizz sampai harus mengetuk-ngetuk penghapus papan tulis ke meja untuk mengalihkan fokus siswi di kelas yang tidak memperhatikan papan tulis dan malah menatap Ryan.
Ryan sendiri merasa heran karena dia selalu diperhatikan oleh murid-murid lainnya.
Ryan mendekatkan wajahnya ke telinga Lizz dan berbisik, "Mengapa mereka semua menatapku? Apa mereka tahu aku terlihat dalam insiden waktu itu?"
Lizz hanya menggeleng kecil sebagai jawaban. Dia tidak mau menjelaskan jawabannya sekarang karena topik tersebut sangat rentan untuk dibahas di tempat umum.
Saat jam istirahat, Lizz memberi kode agar Ryan mengikutinya. Lizz membawa Ryan ke kelas kosong yang tidak terkunci. Kelas itu sudah lama tidak dipakai dan terlihat berantakan.
"Jangan bersikap seolah kau mengenalku!" Kata Lizz tanpa basa-basi.
"Kenapa?"
Lizz menyandarkan tubuhnya di tembok dan berkata, "Identitasku di mata murid-murid itu masih tidak jelas akibat insiden waktu itu. Mereka memang tidak memusuhiku. Tetapi mereka juga was was terhadapku. Jadi mereka akan membuat spekulasi jika kau tiba-tiba bersikap seolah-olah sudah mengenalku sebelumnya."
Ryan mengernyitkan dahinya bingung. Namun dia tidak membantah perkataan Lizz.
"Aku tadi hanya cemas melihat mereka terus-menerus menatapku. Kukira aku sudah ketahuan." Ryan menghela napas.
"Kau belum ketahuan. Mereka menatapmu karena wajahmu." Jelas Lizz.
Ryan menaikkan sebelah alisnya, "Wajahku? Mereka mengenali wajahku?"
Lizz terkekeh, "Bukan, bodoh. Mereka menatapmu karena kau tampan."
Setelah beberapa waktu tinggal di sini, Lizz akhirnya merasa familiar dengan budaya di sini. Di tempat ini para kaum hawa dapat melihat laki-laki tampan seperti es krim limited edition di musim kemarau atau seperti beruang hibernasi yang kelaparan.
"Just because of that?" Tanya Ryan tidak percaya.
"They staring at me like i did bad things to them." Sambung Ryan
"Well, you ignore their enthusiastic stare. For them it was like a crime. Beside you're too good looking. So it's normal here to have people staring at you like that."
"Aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Rasanya aku tidak akan bisa terbiasa dengan tatapan-tatapan mereka." Ucap Ryan sambil menatap lantai kelas dengan pandangan kosong.
Lizz menepuk bahu Ryan, "Hey, look at the bright side! You're not alone. Aku juga masih tidak terbiasa dengan situasi di sini. Sepertinya karena kita tumbuh di medan perang, jadi kita memiliki pola pikir dan kebiasaan yang berbeda dari mereka."
"Ya, mungkin saja."
"Bagaimana hari pertama kehidupan normal-mu di sekolah? Apakah menyenangkan?" Tanya Lizz.
"Aku tidak tahu. Sebelumnya, aku selalu ingin hidup normal. Tetapi saat aku menjalaninya, rasanya hal itu berbeda dari ekspektasiku. Tetapi bukan berarti aku tidak suka kehidupan yang normal seperti ini."
Lizz memasang wajah galak, "Kau harus menyukainya. Aku tidak menerima komplain! Kau tidak tahu apa yang kulewati untuk meminta bantuan organisasi untuk membuatmu sekolah di sini."
"Yes, Ma'am!" Ledek Ryan sambil melakukan pose hormat. Kemudian Ryan dan Lizz tenggelam dalam tawa.
To Be Continue
Haii, apa kabar semuanya? Author update lagi. Jangan lupa vote & comment biar author tambah semangat update-nya.
Jangan lupa jaga kesehatan jugaa...:)

KAMU SEDANG MEMBACA
HEROIC GIRL
AksiLizz adalah gadis yang bertarung di garis depan perang. Memakai senjata adalah kesehariannya, berperang adalah rutinitasnya. Lalu, apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia dikirim untuk bersekolah di sekolah umum? ***...