[4] What A Coincidence

1.4K 125 9
                                    

Cherry bangun siang di hari Minggu, sekitar pukul sembilan. Tidak terlalu siang memang, tapi tidurnya nyenyak sekali. Dia menggeliat sebelum duduk dan mengucek mata. Seperti orang kebanyakan, hal yang pertama Cherry cari adalah ponsel. Nomor adiknya memenuhi notifikasi di antara satu pesan dari Media.

Namun, begitu Cherry membukanya, pesan dari Media sudah terhapus. "Dih, kenapa coba? Nggak berubah dari dulu, nggak jelas," kata Cherry kesal.

Dia lalu melempar ponselnya sembarangan dan menuju beranda kamar untuk menyambar handuk yang dijemur seharian. Karena indekos Cherry agak mahal di kawasan Setiabudi–bahkan terdapat parkiran mobil, masing-masing kamar punya kamar mandi dan beranda kecil sendiri. Cherry harus merogoh kocek sebesar empat setengah juta setiap bulan hanya untuk indekos. Makanya dia bermaksud mencari rumah. Kalau nanti sudah bosan, toh rumah memiliki surat tanah, sementara kalau mencicil apartemen, yang dia dapat hanya hak milik dan hak guna bangunan saja. Jadi, Cherry memilih rumah untuk investasi sekaligus dia tinggali, daripada setiap bulan membayar indekos eksekutif.

Tapi masalahnya... Rumah di Jakarta itu mahal, bahkan ke perbatasan saja sudah mulai mahal. Ada beberapa rumah yang sudah Cherry tandai, salah satunya di kawasan BSD, hanya saja cicilannya cukup memberatkan tiap bulan. Memang sih, Cherry bukan orang yang pengeluarannya banyak, tapi tetap saja berat. Dia tidak mau kalau nanti tidak ada dana darurat dan tabungan. Cherry hanya mampu mencicil rumah yang seperempat gajinya setiap bulan, seharga indekosnya sekarang.

Saat Cherry keluar kamar mandi, ponselnya tak berhenti berdering. Cherry mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil berlari menuju ponsel. Dia memakai kaus oversized dengan celana basket selutut. Cherry melihat nama agen perumahan yang ditunggu-tunggu.

"Gimana, Mbak Risa? Ada unit atas yang menghadap sungainya?" kata Cherry saat agen perumahannya belum sempat bicara.

Agen perumahan bernama Risa itu langsung tertawa senang. Tentu saja rumah terjual, berarti bonus sudah di tangan. Dia langsung bertanya, "Mbak Cherry mau lihat unitnya dulu nggak? Hari ini kolega saya ada di sana, nanti saya kabari."

"Mau banget kalau emang bisa ngecek dulu." Cherry antusias. Dia menengok ke tumpukan kontainer plastik di sela-sela antara ranjang dengan tembok yang sudah penuh. Dia tidak sabar men-display isinya di rumah baru.

"Kalau oke, mau langsung diproses nggak, nih, Mbak?" tawar Risa. Tentu saja jadi sales rumah harus cepat mengambil hati klien, biar bonus makin banyak.

"Ya makanya lihat dulu. Kalau nggak cocok, masa langsung saya bayar?" Cherry tertawa.

"Oke. Ini saya kirimin nomor kolega saya yang lagi antar kunjungan kliennya. Langsung ke lokasi aja, Mbak." Risa pun menutup sambungan telepon dan mengirimkan nomor ke WhatsApp Cherry.

Karena takut klien yang dimaksud buru-buru membeli–karena siapa tahu saja dia langsung kepincut–Cherry langsung menyambar tas kanvas berisi dompetnya. Tak lupa memasukkan lipstik seadanya dan sunscreen, juga kacamata hitam. Sebelum keluar, Cherry menyambar kunci mobilnya di meja kecil samping ranjang. Dia pun langsung menuju parkiran mobil di indekosnya dan bergegas menuju BSD tanpa ganti baju sama sekali, masih memakai kaus dan celana basket.

Di perjalanan, Cherry mendengar lagu-lagu semangat. Dia mengemudi santai, tapi jalan tol yang tak begitu padat membuat perjalanannya dari Setiabudi ke BSD hanya ditempuh dalam waktu satu jam tiga puluh menit. Cherry keluar di Tol Serpong 2 dan berbelok ke kiri setelah keluar tol. Dia kini berada di perempatan untuk menunggu antrean kendaraan yang tertahan padahal belok kiri harusnya jalan terus.

"Ya elah bego," gerutu Cherry. Sembari menunggu, Cherry membetulkan letak kacamata hitamnya, lalu memulas lipstik tipis. "Oke, udah cakep. Mari rumahku sayang!"

The Love InvestmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang