Selang seminggu setelah Cherry dan Media sepakat berkompromi dengan urusan resepsi sederhana, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel seorang perempuan. Gadis itu tinggal di indekos kumuh dan selalu menutup tirai kamarnya. Dia tak pernah keluar kecuali untuk membeli makan dan keperluan lain. Kalaupun dia keluar kamar, pastilah selalu memakai jaket bertudung dan menghindari kerumunan orang.
Pesan singkat yang masuk tiba-tiba itu seperti melubangi kamar kumuhnya dan membuatnya jatuh ke inti bumi. Perempuan itu meremas kerah kausnya dan melempar ponselnya.
Dan, kamu dah tau kalo Mas Media mau menikah? Minggu depan katanya.
Perempuan itu mengambil lagi ponselnya dan membaca pesan itu sekali lagi. Nomor temannya sudah tak dia simpan dengan nama, hanya berupa nomor saja. Begitu juga nomor-nomor lainnya, sehingga dia tidak tahu siapa saja yang menghubunginya. Itu semua karena dia menghindari sesuatu. Belakangan, berbagai pesan ancaman masuk ke ponselnya dan dia muak membaca itu. Oleh karenanya, dia memutuskan untuk memblokir beberapa nomor dan membiarkan nomor teman-temannya tanpa nama.
Akhirnya perempuan itu memberanikan diri menelepon nomor temannya.
"Desi, ini kamu?" tanya gadis itu setelah temannya mengangkat.
Tanpa menjawab, temannya heboh sendiri di ujung telepon. "Dania! Kamu ke mana aja? Kamu gimana kabar? Ngilang gitu pas udah kelulusan kampus. Kamu sehat-sehat, kan?" Rekan gadis bernama Dania itu memberondongnya dengan pertanyaan.
Dania urung menjawab, dia hanya menggigiti kuku. Lalu, tanpa menjawab pertanyaan barusan, Dania malah balik bertanya, "Kamu tau dari mana Mas Media menikah?"
"Memang dia nggak hubungin kamu? Bukannya dia temen deket almarhum kakak kamu?" balas Desi cepat.
"Udah nggak pernah kontakan, sejak aku resign dari kantor lamaku yang kemarin-kemarin. Aku juga udah nggak nyimpen nomer dia."
Desi menyempatkan diri untuk batuk sebentar, kemudian menjawab, "Oalah gitu. Aku dapat informasi dari grup alumni SMA Wijaya. Dia mau menikah sama anaknya Bu Sani, guru kita dulu pas di Wijaya. Kamu inget Bu Sani, nggak?"
"Bu Sani?" Dania terdiam sejenak, dia mengingat-ingat sosok guru yang disebutkan Desi, lalu dahinya mengernyit dan rahangnya mengencang. "Maksud kamu, nikah sama Kak Cherry?"
"Nah iya. Namanya Cherry. Aku cuma inget adiknya doang, Siska. Kan beda satu angkatan doang sama kita," kata Desi lagi. Dia lalu berbicara dengan seseorang dan akhirnya menutup pembicaraan sore itu. "Sori, Dan. Aku pergi dulu, mau meeting terus pulang cepat. Lagi flu, nih. Kamu berkabar terus dong. Anak-anak kelas kita pada kangen, katanya kamu ngilang tiba-tiba jadi nggak ikutan reuni terus."
"Oke deh. Thanks, Des."
Telepon pun ditutup dan Dania melempar lagi ponselnya ke ujung kasur yang tampak tipis dan tak nyaman ditiduri. Gadis itu mengacak rambutnya frustrasi dan memandang ke lantai indekosnya yang kusam.
Serius? Mas Media menikah?! Sama Cherry pula. Aku harus ketemu dia. Aku harus tanya langsung!
Dania bergegas menyambar handuk yang tersampir di belakang pintu kamar indekosnya dan keluar untuk menuju kamar mandi umum di indekos kumuh itu. Untunglah tak ada yang mengantre kamar mandi, jadi Dania bisa segera masuk dan menyelesaikan urusan. Sudah tiga hari ini dia tidak keluar indekos, karena sedang dalam mode waspada. Bahkan untuk ke kamar mandi saja dia takut. Namun, karena urusan Media adalah hal mendesak, mau tak mau Dania harus keluar indekos dan mencari lelaki itu. Dania tahu lelaki itu ada di mana. Pasti Media ada di apartemennya dan dia harus ke sana sebelum Media benar-benar menghilang dari hidupnya pekan depan.
***
Sementara itu, hari ini Cherry akan pulang cepat. Dia sudah membuat permintaan cuti untuk mengurus pernikahan mendadak dan sederhana yang dia adakan di aula perumahan. Pernikahan itu diadakan hanya sekadar untuk menghormati tetangga di kawasan perumahan Cherry sehingga kedua orang tuanya tidak jadi bahan omongan. Ketika Cherry baru hendak memasuki ruang kantor Armand sebelum pulang, bosnya itu membuka pintu. Wajahnya kusut, sekusut hatinya.
"Eh, Cher..." Armand mengucek mata dan membuka pintu ruangan kantor lebar-lebar.
Cherry tersenyum seperti biasa. Sepenuhnya gadis itu tak tahu bagaimana sebenarnya perasaan Armand. Karena tak pernah ada perasaan apa pun, gadis itu jadi tak bisa membaca kode-kode yang Armand berikan selama ini.
"Ini undangan pernikahanku, buat Mas Armand. Acaranya di aula kompleks perumahanku di Depok. Kecil-kecilan aja acaranya, tapi Media pengen Mas Armand dateng, sih," kata Cherry ceria.
Armand menerima undangan berwarna biru muda dengan ornamen sederhana itu. Dia membolak-baliknya dan hatinya terasa sakit. Ada nama Cherry, tapi bukan namanya yang ada di sana melainkan nama juniornya di kampus dulu. Armand kembali menatap Cherry dan mencoba tersenyum sabar.
"Oke. Nanti gue datang, Cher. Sekali lagi selamat ya," balas Armand. Dia tak bisa berkata apa pun, hanya mengucapkan selamat. Meskipun terdengar mendadak, tapi perempuan hebat seperti Cherry tentunya banyak yang menyukai. Jadi, sedikit banyak Armand mengakui bahwa Cherry tak tergapai lagi juga itu karena kesalahannya sendiri. Lain kali jangan terlalu lama berpikir soal perasaan sendiri... Batin Armand.
"Kalo gitu, gue pamit dulu ya. Per besok sampai minggu depan, gue cuti, kan," kata Cherry lagi.
Armand mengangguk dan akhirnya Cherry pun pergi dari pintu kantornya. Sepanjang Cherry melewati koridor, teman-teman kantornya juga mengucapkan selamat dan Cherry menyalami mereka satu per satu. Sementara itu, Armand hanya menatap punggung Cherry yang kian lama kian menjauh.
Cherry langsung menuju lobi gedung kantor setelah turun dengan lift. Hari ini Arin akan menjemputnya dan mengantar gadis itu ke tempat jahit pakaian bridesmaid. Karena Arin sangat antusias, dia jadi ingin mengantar Cherry dan melihat hasilnya. Sebagai sahabat Cherry, Arin senang saat diminta menjadi bridesmaid. Selain itu, dia juga antusias untuk mengetahui siapa yang akan menjadi groomsman dari sisi Media. Karena sudah lama menjomlo, Arin berharap siapa tahu salah satu dari mereka bisa dia gebet. Memang dasar Arin, teman yang cari-cari kesempatan.
Cherry baru sampai di lobi saat mobil Arin memasuki pelataran gedung. Gadis itu langsung melongok begitu temannya membuka jendela mobil.
"Buruan masuk, Cher. Belakang antre mobilnya panjang, nanti diklaksonin kita," kata Arin segera setelah membuka jendela di kursi penumpang.
Cherry bergegas masuk dan mobil pun tancap gas dari gedung kantor. Keduanya berkendara melewati kemacetan jalan dan bergegas mencari gerbang tol terdekat. Mereka akan ke Ciledug untuk menuju tempat jahit yang terkenal rapi dan modis di dekat Pasar Cipadu. Cherry belum tahu kala itu. Saat sedang mencari referensi tukang jahit di toko kain Pasar Cipadu, penjual kain merekomendasikan tempat jahit itu. Cherry langsung mengecek dan ternyata hasilnya tak begitu buruk.
"Emang udah kelar gaun lo?" tanya Arin ketika mobil berhasil mengantre masuk tol yang menuju arah Ciledug.
Cherry memeriksa ponselnya dan membalas, "Kata Bu Bima udah kelar, itu nama penjahitnya."
"Kenapa sih lo nggak beli di toko gaun aja atau gimana gitu?"
Cherry menggeleng cepat dan menoleh ke arah temannya. "Buat kenang-kenangan, Rin. Lagian itu gue buat gaunnya yang lumayan bisa segala acara. Jadi, nanti kalo ada pesta atau apaan, bisa gue pake lagi. Tadinya mau beli, tapi sayang kalo nggak kepake lagi. Terus kalo nyewa, nanti nggak ada kenang-kenangan," jelas Cherry.
"Iya juga, sih. Berarti warnanya biru muda?" tanya Arin lagi.
Cherry dengan ceria menjawab, "Iya! Kesukaan gue warnanya. Nanti liat aja, deh. Baju bridesmaid-nya lucu, Rin!"
"Iya. Siap, Bu Pengantin!"
Melihat temannya seceria itu, Arin jadi tak khawatir. Sepertinya Cherry benar-benar menantikan hari pernikahan itu dan semangat mengerjakan segala perintilannya. Meskipun Cherry sempat bilang kalau dia tak mau menikah, akhirnya Arin percaya bahwa Cherry sebenarnya mau saja menikah asal ada orang yang cocok. Entah kenapa, lelaki tengil yang sering temannya ceritakan itu malah menjadi calon mempelai prianya.
***
Update log:
Sabtu, 5 Agustus 2018
19.47 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Investment
RomanceHarga rumah melambung tinggi. Bukan di Jakarta saja, tapi sampai jauh ke perbatasan Jabodetabek. Cherry yang sudah mapan sebagai wanita karier, bermaksud untuk membeli rumah. Namun, membayangkan harus menghabiskan sisa hidup untuk melunasi cicilan b...