Pergi ke Dunia Fantasi pada Sabtu lalu membuat Cherry kembali mendiamkan Media selama seminggu. Cherry uring-uringan di kantor, sementara ibunya terus mengirim pesan WhatsApp sesampainya di Depok. Bu Sani meminta Cherry dan Media mampir kapan-kapan buat ketemu Pak Wira–ayah Cherry. Cherry menolak, tapi tentu saja penolakan itu tak mungkin bertahan lama. Bu Sani mengancam akan menyeret Cherry pulang kalau tidak mampir dengan Media. Itu berarti, Media harus menolong Cherry lagi.
"Ah, shit," kata Cherry saat pikirannya mulai meluap ke mana-mana.
Anggota timnya yang duduk di sebelah langsung menengok dan menggeser kursi ke arah temannya. "Kerjaan kita baik-baik aja, kan? Nggak ada salah apa pun, kan?" bisik anggota timnya pada orang di sebelah.
"Harusnya baik-baik aja. Mungkin akhir-akhir ini, Mbak Cherry lagi banyak masalah kali," bisik anggota timnya yang lain.
Cherry tiba-tiba bangkit dan beres-beres. Dia menuju meja Armand untuk meminta cuti setengah hari di hari Selasa pula. Padahal hari itu ada acara kumpul-kumpul tim IT kantor.
"Mas, gue nggak enak badan," kata Cherry.
Armand melirik saat melihat Cherry melongok dari pembatas kubikelnya. Dia pun membalas, "Lo sakit? Mau gue anter ke rumah sakit?"
"Nggak usah. Gue mau balik aja. Kerjaan gue udah kelar dan gue upload ke sistem. Coba lo cek. Kalo ada apa-apa kirim pesan Slack aja, nanti gue kerjain di rumah," jelas Cherry cepat.
Armand memandang arloji dan tersenyum penuh perhatian. "Oh ya udah. Nggak usah ambil cuti setengah hari. Lagian ini udah jam empat sore. Nanti gue minta lo kerja dengan sisa jam kerja lo dari rumah aja kalo ada apa-apa sama kerjaan lo."
"Thanks, Mas. Gue balik ya."
Cherry baru hendak berbalik saat Armand tiba-tiba bangkit. "Bentar, Cher. Gue anter, sekalian mau beli kopi di kafe lobi."
Cherry tidak menolak, tapi juga masih bersikap biasa. Biar kata teman-teman, Armand naksir dia, tapi Cherry tidak mau memberi 'angin' kalau tidak mau ada masalah di kantor. Akhirnya Cherry tetap berjalan ke arah lift dan Armand mengekor dari belakang.
"Takutnya lo pingsan di mana gitu," kata Armand saat keduanya tengah menunggu lift.
Lift terbuka dan keduanya masuk. Cherry buru-buru menekan tombol dan bersidekap sambil menyampirkan jaket di sela-sela lengannya. "Kalo gue pingsan juga ada yang nolongin kali. Di semua sudut gedung ini kan ada CCTV," katanya ketus. Entah kenapa tiba-tiba Cherry bad mood. Mungkin dia sedang sensitif, mau menstruasi, atau kepikiran ciuman pipi kemarin.
Shit! Media sialan!
Sesampainya di lobi, Cherry hanya mengangguk saat Armand menahan pintu lift. "Makasih, Mas Armand. Gue balik ya."
Belum sempat Armand membalas, Cherry sudah lari keluar gedung dan menghilang secepat kilat.
***
Bukannya pulang seperti yang tadi Cherry bilang, gadis itu malah bergerak ke kawasan Gatot Subroto. Dia mau mampir ke tempat kongko langganan bersama kedua temannya. Saat di perjalanan pulang tadi, Cherry buru-buru mengirim pesan singkat di grup pertemanan mereka. Kodenya "Help!" dan itu pasti langsung dibalas cepat oleh yang lain dengan, "Kenapa, Beb? Okeh langsung RTL kita!"
RTL adalah nama kelab itu dan biasanya mereka akan memesan minuman. Cuma dengan cara itu Cherry bisa jujur tanpa menahan apa-apa dalam perasaannya.
Saat ini Cherry sudah duduk di tempat biasa. Yessi dan Arin langsung muncul sekitar empat puluh menit kemudian. Setelah cipika-cipiki, tentu saja Arin memesan dan langsung memberondong Cherry dengan pertanyaan.
"Lo kusut terus setiap minggu. Kenapa, sih?" tanya Arin.
"Pusing gue sama Media. Sialan banget cowok tengil itu," kata Cherry lagi.
Yessi hanya bisa menggelengkan kepala. "Kenapa lagi? Baper lo?"
"Gue terpaksa kemarin, karena ada Nyokap nyodorin anak temennya mulu. Minta tolong sama Media, dia malah keterusan. Waduh... diciumlah pipi gue."
"Waduh! Sexual harassment itu kalo lo sampai merasa nggak nyaman!" Arin menggebrak meja tempat mereka berada dan matanya melotot.
Cherry melambai-lambaikan tangannya, meminta Arin sabar. "Tenang dulu, Rin. Masalahnya... Anehnya... Ada geli-geli di perut gue dan perasaan... Apa ya? Hangat mungkin?"
"Alah! Itu kayaknya lo naksir dia deh, Cher?" selidik Yessi.
"Apaan?! Janganlah! Nggak bisa gue sama dia kalo inget rekam jejak semasa SMA!"
Arin dan Yessi kini hanya bisa menghela napas lelah. "Lo nggak ngerti cowok banget. Dia itu dulu palingan caper sama lo!" ungkap Arin sembari mencubit gemas lengan Cherry.
Lalu, Yessi pun menambahkan. "Sumpah ya. Lo itu kayaknya kelamaan menjomlo sampe nggak paham apa maksud cowok. Lo ngerti kan kalo dia caper?"
Cherry menggeleng cepat dan tertawa. "Nggak terpikir sama gue, kalo Media orangnya cuma caper sama gue waktu dulu. Gue bawaannya kesel sama dia."
"Sekarang gimana?" Arin menambahkan.
"Masih kesel, sih... Tapi..." Yessi dan Arin diam, menunggu jawaban. Cherry tersenyum sendiri. "Tapi, ternyata dia orangnya baik."
Yessi dan Arin meminum pesanan mereka dan bersandar lemas di kursi sembari menggelengkan kepala bersamaan. Arin terkekeh pelan dan menepuk pundak sahabatnya. "Fix. Kalo bilangnya 'baik', berarti lo suka sama dia. Bukan lagi naksir-naksir kayak cinta monyet, karena pasti ngomongnya 'dia ganteng, dia keren'. Ngerti nggak lo, Cher?"
Cherry hanya melongo. Jadi, gue naksir Media, nih?
Yessi ikut-ikutan menepuk pundak temannya dari samping. "Ngerti nggak, Cherry yang pinter dan rajin belajar? Soal cinta gini masih bego aja lo. Duh..."
Mana mungkin Cherry mengerti perasaan macam apa ini, kalau dari dulu saja dia sibuknya belajar. Jadi... Jadi betulan, nih? Cherry naksir Media? Macam remaja saja.
***
12 Juli 2023, 23.55 WIB
Author's Note:
Hai! Ayu Welirang kembali!
Kali ini kita ulik gimana perasaan Cherry setelah mengalami perasaan yang nggak pernah dia rasakan sebelumnya. Kurang manis apa gimana, ya, Manteman?
Coba kasih komentar dan saran, dong.
Ahahaha.
Makasih sudah membaca dan mengikuti kisah Cherry dan Media. Semoga masih betah ya.
xoxo,
Ayu Welirang
Hari ini lagunya lagu semangat. :3
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Investment
RomanceHarga rumah melambung tinggi. Bukan di Jakarta saja, tapi sampai jauh ke perbatasan Jabodetabek. Cherry yang sudah mapan sebagai wanita karier, bermaksud untuk membeli rumah. Namun, membayangkan harus menghabiskan sisa hidup untuk melunasi cicilan b...