Urusan pertama Cherry selesai. Syukurlah rumah sudah berhasil dipesan sebelum orang lain–karena Gerry bilang, ada dua pasangan muda lainnya yang sudah menunggu, tapi mereka masih mempertimbangkan. Kalau saja mereka terlambat ke Cluster Taman Serpong, bisa jadi rumahnya hilang besok. Padahal memang itu biasanya hanya akal-akalan sales perumahan saja, tapi tetap saja Cherry dan Media termakan rayuannya juga. Setidaknya, kini mereka punya pencapaian lain dalam hidup, berhasil memiliki rumah di Jabodetabek yang harganya makin tidak masuk akal.
Di perjalanan pulang dari perumahan yang akan mereka tinggali nantinya, Cherry bergantian mengemudikan mobil Media. Dia biasa berkendara sendirian, jadi sudah tidak asing dengan jalan raya dan tenang saat mengemudi. Saat Cherry menengok ke samping, Media tertidur. Dia tak jadi membangunkan lelaki di sampingnya untuk mengajak bicara. Agar tak mengantuk, Cherry memutuskan untuk menyalakan pemutar musik dari ponselnya. Dia berbelok ke area istirahat sehingga tetap aman. Cherry parkir di depan kedai kopi. Baru saja Cherry menarik tuas rem tangan, Media tersentak dan terbangun.
"Eh... Udah sampe, Cher?" katanya. Lelaki itu melepas kacamata dan menaruhnya di dasbor mobil. Dia lalu mengucek mata.
Cherry menghalau tangan kanan Media sebelum lelaki itu sempat mengucek matanya. "Jangan kucek mata gitu, nanti merah," kata Cherry. Entah kenapa dia tiba-tiba berlaku seperti itu. Cherry buru-buru melepas tangannya lagi dan berkata, "Maafin. Refleks. Aku kebiasaan gini kalo sama Siska."
Media tersenyum senang. "Nggak apa-apa. Aku suka kalo kamu perhatiin."
Hening seketika. Cherry masih belum biasa dengan Media yang bermulut manis. Media yang dia ingat masihlah Media di masa lalu. Meskipun begitu, perlahan Cherry menerima realita. Untuk bisa menerima Media apa adanya, tentunya dia harus kompromi dengan kebenciannya sendiri. Demi bisnis rumah yang aman, nyaman, dan balik modal di kemudian hari.
Cherry pun membuka seatbelt, kemudian membuka pintu di sampingnya. "Aku mau beli kopi. Kamu mau nggak?"
Media melongok ke kaca di depannya dan memandang kedai kopi itu. Dia lalu berkeliling memandang toko lainnya. "Aku kayaknya laper, Cher."
Cherry lantas mengecek arloji. "Oh iya, udah lewat jam makan siang juga. Mau makan apa?"
Sebelum Media sempat menjawab, ponsel Cherry berdering. Gadis itu urung keluar dari mobil dan mengangkat telepon dahulu.
"Apaan, Rin?" tanya Cherry segera setelah sambungan telepon terhubung.
Temannya, Arin, mencak-mencak di ujung sana. Arin pun berkata, "WA nggak dibales-bales, jadi panik gue sama Yessi. Katanya hari ini mau ketemuan di Bintaro? Jadi, nggak? Duh... Gue kirain lo kenapa. Kalo asam lambung lo kumat, kan lo suka sakit sampai pingsan."
"Eh? Emang kita ada jadwal ketemuan hari ini ya? Maaf gue lupa. Gue lagi ada urusan mendadak, jadi bener-bener lupa," jawab Cherry.
Arin mengembuskan napas lega. "Syukurlah. Gue kira lo kenapa-kenapa, Cher. Berarti nggak jadi nih? Biar gue kabarin Yessi."
Cherry memutar otak. Dia lalu menengok Media. "Hmm, Rin. Ketemuan di Kafe Daun kayak biasa bukan? Duduk di deket kolam ikan kayak biasa?"
"Iya. Kayak biasa. Emang lo bisa datang, Cher? Lagi di mana, sih?" Arin memberondong Cherry dengan berbagai pertanyaan.
Cherry tak menjawab pertanyaan barusan, tapi malah berkata, "Gue lagi di rest area tol Bintaro juga. Nanti gue ke Kafe Daun habis isi bensin. Sekalian ada yang mau gue omongin."
Arin urung membalas dan mengiyakan saja dengan segera. Setelahnya, dia menutup teleponnya.
Tatkala Arin sudah menutup telepon, Cherry bergegas membalas pesan dan bilang bahwa dia jadi berangkat ke Kafe Daun karena lokasinya dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Investment
RomanceHarga rumah melambung tinggi. Bukan di Jakarta saja, tapi sampai jauh ke perbatasan Jabodetabek. Cherry yang sudah mapan sebagai wanita karier, bermaksud untuk membeli rumah. Namun, membayangkan harus menghabiskan sisa hidup untuk melunasi cicilan b...