Cherry setengah mati ingin membuktikan bahwa dia baik-baik saja. Oleh karenanya, Cherry memberanikan diri untuk menghubungi Media. Keduanya berjanji untuk bertemu di Corner Cafe dekat indekos Cherry. Gadis itu sedang malas ke mana-mana dengan mobil, apalagi kendaraan umum. Jalan kaki ke kafe yang suasananya rimbun, di belakang hiruk-pikuk Jakarta, rasanya tak buruk juga.
Pukul setengah dua siang, gadis itu sudah duduk di bagian dalam kafe. Dia mengambil posisi di sebelah jendela kaca besar yang dapat memandang ke bagian luar kafe di tengah-tengah pepohonan. Gadis itu tengah mengerjakan sesuatu di tablet dan berhenti saat sosok Media tampak mendekat dari tempat parkir mobil menuju kafe.
Lelaki yang enam belas tahun itu sangat dibencinya–walau tanpa alasan–memakai gaya pakaian yang sama seperti saat mereka ke Dufan minggu lalu. Kaus panjang, luaran kemeja kotak-kotak pendek. Celana kebesaran dan sepatu basket atau entah sepatu yang biasa digunakan pemain skateboard seperti pada video klip Avril Lavigne, Sk8er Boi.
"Udah pesan minum, Cher?" Media bertanya seraya duduk dan menaruh ponsel di meja kafe.
Cherry turut menaruh tablet dan mengangguk. "Lo mau pesan apa? Biar gue traktir?"
"Dalam rangka apa, nih?" Media tersenyum hangat. Lelaki itu kemudian melepas kacamata dan memijat pelipisnya, sebelum memakainya kembali.
"Ya pengin aja traktir. Lo nggak mau?"
"Yang ikhlas dong, Cher." Media tersenyum lagi dan bertopang dagu, menatap Cherry hingga gadis itu deg-degan sendiri. "Gue pandan latte aja, Cher. Dingin ya," lanjutnya setelah lelaki itu menatap menu besar yang terletak di belakang bar. Lelaki itu setengah menyipit untuk memfokuskan pandangannya.
Cherry mencebik saja, lalu melengos pergi. Dia mengabaikan jantungnya yang nyaris copot karena ditatap lama. Sialan emang ini orang tengil, pikirnya.
Keduanya menunggu pesanan diantarkan. Tak ada pembicaraan berarti. Media hanya berbasa-basi dan akhirnya hening kembali. Dia lalu bertanya, "Bu Sani sehat, Cher?"
"Mama sehat. Dia udah balik. Gue langsung pesenin taksi sepulang dari Dufan waktu itu, biar nggak perlu maksa lo nganterin," balas Cherry cepat.
Media mengangguk dan mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja kotak-kotaknya yang cukup besar. Sebuah e-reader berukuran kecil. Baru saja Media hendak menyalakan tablet membacanya, Cherry menggerutu. "Kok malah baca sih, Med?"
Lelaki itu tersenyum tulus dan menaruh e-reader di meja. "Lo diem aja, Cher. Gue dianggurin kan jadi bingung. Lo marah ya soal waktu itu di Bianglala? Gue pribadi minta maaf, kalau hal itu menyinggung lo."
"Minta maaf lo telat. Di mana-mana kalo mau kayak gitu, izin dulu dong," gerutu Cherry sambil cemberut. Sungguh. Media jadi ketar-ketir sendiri. Cherry sangat imut kalau sedang marah-marah, makanya dulu dia senang menjahili Cherry semasa sekolah.
Media menutup mata dan senyumnya menghilang, berganti rasa bersalah. Dia menggigiti bibirnya dan menangkupkan telapak tangannya di hidung. "Maaf, Cher. Beribu maaf. Kalau memang ciuman pipi saat itu nyakitin lo, menyinggung perasaan lo, bahkan sampai bikin lo nggak nyaman selama seminggu, lo boleh melaporkan gue ke polisi sekarang juga. Bilang aja pelecehan seksual."
Cherry mendesah malas. "Bukan gitu, Med. Gue nggak marah. Gue... Gue cuma kaget. Gue nggak pernah sedekat itu sama orang sampai jantung gue mau meledak sendiri," ungkap Cherry. Lebih baik dia jujur daripada stres di kamar sendirian.
Media tersenyum lagi. Kali ini dia mengangguk paham. "Lo dari dulu memang sibuk sama belajar aja, sih. Sampai lo nggak tahu kalau gue dulu merhatiin lo mulu."
"Emang iya, Med? Kok di mata gue, kesannya lo itu dulu selalu menghina gue, jahilin gue sampai malu, bahkan bikin gue nangis pas lo kata-katain gue habis ulangan Matematika yang sekelas sama Doni."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Investment
RomanceHarga rumah melambung tinggi. Bukan di Jakarta saja, tapi sampai jauh ke perbatasan Jabodetabek. Cherry yang sudah mapan sebagai wanita karier, bermaksud untuk membeli rumah. Namun, membayangkan harus menghabiskan sisa hidup untuk melunasi cicilan b...