EL 8 - Grief

8.1K 301 5
                                    

Hembusan hangat yang menerpa wajahku membuatku membuka mataku perlahan. Badanku pegal sekali. Kurasakan ada yang membebani pinggangku. Saat mataku sudah terbuka sepenuhnya, mataku langsung membulat melihat dia yang tidur dalam keadaan dekat seperti ini, dengan posisi tangannya memeluk pinggangku dan tanganku yang menyentuh wajahnya. Jadi dari semalam kami tidur dalam posisi ini? Tapi anehnya aku tidak berteriak. Aku justru merasa nyaman dan tak kusadari aku tersenyum.

Aku tak bergerak sedikitpun, tak ingin membangunkannya. Kupandangi wajah tampannya. Wajah yang sudah hampir setahun ini terlukis dalam benakku. Tampan sekali. Ya kata itu yang kuucapkan pertama kali saat melihatnya, bahkan sampai saat ini. Dia akan selalu tampan.

Tak peduli berapa banyak kesalahannya padaku selama ini, aku tak pernah bisa marah padanya. Aku selalu memberi senyum untuknya. Selalu menerima setiap permintaan tolongnya. Selama ini, dia seperti sosok yang terus membayangiku, namun tak pernah bisa tersentuh. Dekat, tapi terasa jauh. Dia hanya membutuhkanku, tapi tidak mencintaiku. Jadi, biarkanlah seperti ini. Biarkan kami menjalani semua ini. Aku ikhlas. Karena aku percaya, sampai saat ini aku bisa bersamanya, itu semua karena rencana-Nya. Hanya satu yang bisa kulakukan, menunggu dan percaya. Yang penting aku masih dapat melihatnya ada di dekatku.

Aku masih mengantuk. Kuputuskan untuk tidur lagi. Akan sangat nyaman tidur dalam posisi begini ...hehehe ....

Baru dua menitan aku memejamkan mata sehingga belum terlelap, dering Hp terdengar. Tapi bukan Hp-ku, Hp Samudra, biarkan sajalah. Meskipun aku istrinya sekarang, tetap saja aku tak mau lancang mengangkat telfonnya.

Panggilan itu berakhir. Ahh
.. akhirnya. Sangat mengganggu tidurku. Aku jadi sulit terlelap lagi. Baru saja aku bilang begitu ... sayangnya, Hp itu berbunyi lagi. Dengan mata yang masih terpejam, aku merasakan Sam bergerak pelan. Lalu dia melepaskan pelukannya dipinggangku dengan pelan, seperti takut aku terbangun. Aku merasakan gerakannya bangun.

"Iya, halo," suara khas orang baru bangun terdengar darinya. Ternyata dia mengangkat telfonnya.

"Aa..apa?!" serunya kaget mengejutkanku. Aku pun bangun untuk duduk.

"Ada apa?" tanyaku penasaran dengan gerakan bibir tanpa suara.

"Iya, Ma," ia mengakhiri panggilannya. Dan segera menoleh padaku.

"Maaf aku membangunkanmu," ucapnya tulus. Dia tidak tahu sih aku sudah bangun dari tadi, hehe.

"Tidak apa-apa. Tadi itu kenapa?"

"Omaku kritis. Kita harus ke Jakarta sekarang."

"Apa? Oma Lena kritis? Ya Tuhan!" seruku kaget.

"Iya, Fey. Mungkin ini jawaban keresahanku semalam," ucapnya sendu.

"Yang sabar ya, Sam. Kita sama-sama berdoa buat Oma," aku mengelus bahunya lembut. Dia sedikit tersenyum.

"Terimakasih. Sekarang bersiap-siaplah!"

***

Kami baru saja tiba di rumah sakit setelah menempuh kurang lebih 4 jam perjalanan. Karena masih pagi, wajar saja macetnya nggak karuan. Kami - Aku, Sam, Papa, Mama, Papa Darma, Mama Indah, Gina, Mas Dava, Mba Clara (istri Mas Dava), dan ponakanku yang digendong Mba Clara, si endut Aileen - segera menuju ke ruang ICU di rumah sakit Charitas ini, rumah sakit milik Papa. Di sana sudah ada adiknya Mama Indah (aku belum kenal) dengan suaminya. Mereka yang selama ini menjaga Oma Lena. Kami menunggu di luar, karena belum diizinkan masuk. Oma masih ditangani oleh dokter.

Tidak berapa lama, dokter Hendra keluar dari ruang ICU.

"Apa di sini ada yang bernama Nata? Beliau ingin bertemu," ucap dokter Hendra serius. Mungkin maksudnya Nathan? Tapi aku merasa tidak asing mendengar nama itu. 'Nata' ?! Ahh ...sudahlah.

Eternal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang