EL 9 - Become Awkward

7K 295 2
                                    

Sudah mau dua minggu semenjak kepergian Oma Lena. Kami mulai melakukan aktivitas seperti biasa. Meskipun masih ada kesedihan di sudut hati kami. Terlebih lagi Samudra. Dia jadi berbeda. Jadi lebih pendiam. Tidak seperti Nathan yang kukenal waktu kecil. Dan tidak seperti Sam yang begitu jail saat SMA. Sekarang, dia hanya berbicara seadanya. Suasana rumah yang baru saja kami tempati jadi semakin sunyi.

Aku tahu kesedihannya. Namun aku tak ingin ia larut dalam kesedihan itu. Aku selalu mencoba menghiburnya. Aku menjalankan tugasku yang seharusnya sebagai seorang istri. Membangunkannya dipagi hari, memasak, menyiapkan bajunya, membereskan rumah, mencuci, semuanya. Aku tak ingin mempekerjakan pembantu selagi aku masih bisa melakukannya.

Pagi ini, setelah memasak, aku memutuskan untuk mandi. Perutku sudah tak enak sejak semalam. Pinggangku nyeri. Ahh ... ternyata tamu bulananku datang. Bagaimana ini?! Mana persediaan pembalut lagi nggak ada. Kami 'kan baru pindah, mana aku ingat untuk menyiapkannya. Aku telfon Mama saja.

"Sam, kamu di situ?" panggilku dari pintu kamar mandi. Aku tak mungkin keluar memakai handuk dalam kondisi seperti ini.

"Kenapa Fey?" ucapnya mengagetkanku.

"Boleh pinjam Hp ? Aku ingin menelfon Mama. Ada perlu sebentar."

"Ya sudah, mandilah dulu. Nanti baru menelfon," jawabnya setelah sempat keheranan.

"Tapi aku butuhnya sekarang Sam," ucapku memelas. Oh, ayolah. Akhirnya ia pun menyodorkan Hp-nya padaku. Aku segera menutup pintu kamar mandi dan menelfon Mama. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, akhirnya suara Mama terdengar.

"Ada apa, Ta, pagi-pagi nelfon Mama?"

"Ma, aku datang bulan nih. Tapi persediaan pembalut lagi nggak ada. Mana aku udah di kamar mandi lagi. Aku baru tahu kalau aku datang bulan hari ini, Ma."

"Ya, terus kenapa telfon Mama sayang?"

"Ya mau minta tolong mama beliin dong, Ma."

"Aduh, Ta, bukannya Mama nggak mau sayang, tapi ini 'kan masih pagi banget, Mama lagi siapin sarapan buat Papa, sayang."

"Yah ... Mama ...." aku memberengut.

"Kan ada suami kamu, Ta."

"Dia masih sedih tuh, Ma. Fey nggak enak ganggu. Lagian Fey malu dong, Ma."

"Sekarang berikan Hp-nya ke Samudra." Aku hanya menuruti omongan Mama. Aku membuka pintu kamar mandi sedikit dan melengok keluar. Dia sudah tidak di tempat.

"Sam, kamu di mana? Mama mau bicara sama kamu nih di telfon," teriakku kecil. Dia pun datang.

"Mama?"

"Iya, Mamaku."

"Mamaku juga," ucapnya lalu mengambil Hp yang kusodorkan.

"Iya, halo, Ma!"

"....."

"Iya, Ma." Ia menatapku serius.

Waduh ... apaan yang Mama omongin ke Samudra?!

"....."

"Eh...i..iya, Ma," ucapnya lagi setelah menunggu Mama bicara. Tapi kok dia jadi salah tingkah gitu ngeliat aku. Akhirnya pembicaraan terhenti. Dan dia masih salah tingkah saat aku menatapnya heran.

"Mandilah," hanya itu yang ia katakan lalu meninggalkanku.

Lah? Telfonnya? Trus aku gimana? Huaaa ... Mama ... tega sekali pada anakmu ini ... hikss ....

Aku pun memilih mandi. Biarkanlah, nanti saja aku beli setelah mandi. Di tengah asyiknya mandi, pintu kamar mandi diketuk dari luar.

"Fey! Buka pintunya dong," suara Sam terdengar dari balik pintu.

Ha? Apa tadi katanya? Buka pintu? Pintu kamar mandi ini? Dia gila ya? Haaa ... dia mau ngapain coba?!

Aku pun membuka pintu sedikit seperti sebelumnya. Hanya cukup untuk kepalaku.

"Ke..kenapa Sam?"

Mati! Aku gagu lagi nihh.

"Ini," dia menyodorkan sebungkus pembalut kepadaku sambil tangan kirinya menggaruk tengkuknya salah tingkah lalu segera meninggalkanku.

Pipiku merona menyadarinya. Aku sudah berpikiran yang aneh-aneh tadi. Dasar Fey!

Dia baik sekali. Bagaimana dia bisa membelinya ya? Apa dia tidak malu? Ah sudahlah. Segera aku lanjutkan mandiku.

***

Kami sedang sarapan berdua seperti biasa. Keadaannya sangat canggung sejak 'incident' pembalut tadi. Yang terdengar hanya dentingan sendok dan piring.

Setelah selesai makan, Sam kembali ke kamar sementara aku mencuci piring dan melanjutkan memberes rumah. Selama aku membereskan rumah, Sam tidak kelihatan. Apa dia mengurung diri di kamar sedari tadi? Saat aku menyapu kamar tadi, dia masih mandi.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke kamar setelah lebih dulu mengatur nafasku. Kulihat dia sedang memandangi foto itu lagi dalam diam. Foto oma. Aku tak kuat melihatnya begini terus.

"Sam," sapaku sembari duduk di sampingnya yang duduk di lantai dan bersandar di meja di samping tempat tidur. Dia hanya menoleh tersenyum sekilas padaku, lalu kembali menatap foto alm. Oma Lena.

"Jangan terlarut dalam kesedihan terus, Sam. Setiap manusia pada akhirnya juga akan kembali kepada Tuhan. Aku dan kamu, kita juga akan menghadapinya. Kita hanya tak tahu kapan saatnya. Yang kita perlukan adalah menyiapkan diri kita bila kita harus kembali, atau bila kita harus kehilangan orang yang kita sayangi."

Aku memeluk lengan Sam dan bersandar di bahunya.

"Jangan seperti ini, Sam. Oma akan sedih melihatmu begini. Aku juga akan sedih melihat orang yang aku sayangi terlarut dalam kesedihannya sendiri tanpa mau berbagi," ucapku lagi. Sam mengembalikan foto Oma ke meja. Perlahan dia melepaskan pelukanku dan menatapku. Kurasakan pipiku menghangat.

"Terimakasih," ucapnya tersenyum. "Dan maaf, aku jadi mengacuhkanmu," lanjutnya tanpa melepas pandangannya di mataku. Kami terus menatap tanpa sadar wajah kami terus mendekat. Bahkan sekarang aku bisa merasakan hembusan hangat nafasnya. Kupejamkan mataku perlahan. Tangannya bergerak memegang pipiku. Kurasakan bibirnya sedikit menyentuh bibirku ketika dering ponsel mengejutkan kami. Refleks kami saling menjauh dengan sedikit salah tingkah.

Ia lalu mengangkat telfonnya. Aku hanya menatapnya yang sedang berbicara di telfon.

"Emm ... Hari ini kita di minta ke SMA Abadi, Fey. Ada yang mau dibicarakan dengan teman-teman sekelas," ucap Sam setelah mengakhiri pembicaraan. Aku masih malu menatap matanya mengingat kejadian tadi.

"Jam berapa?" akhirnya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Tapi justru terdengar lirih.

"Jam 9. Ini udah setengah 8. Kita berangkat jam 8 saja ya. Takut macet." Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapannya. Baru saja ingin beranjak, Sam menahan tanganku. Aku pun kembali duduk dan menatapnya. Mendadak jantungku deg-deg-an seperti biasanya.

"Terima kasih." Ia tersenyum padaku. Ahh ... Sam ... senyum kamu itu mematikan jantung aku tahu ... hehe ....

"Buat?" tanyaku heran.

"Karena kamu sudah menjadikan aku orang yang kamu sayangi."

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Haiii...yeyy part baru....
Gimana? makin seru atau makin gaje?
Jangan lupa vomentnya ya guys...

Hope you enjoy it...Thanks :)

~Valentin Vaval

Eternal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang