Haihaihalo!
Akhirnya chapter 1 bisa aku naikin juga.
This may feels quite different karena beberapa karyaku sebelumnya diambil dari dua tokoh utama yang udah saling kenal, jadi bisa skip proses "kenalan"-nya. But hopefully cerita ini tetap bisa diikutin tanpa bikin ngerasa bosen.
So, enjoy your ride!
---
Anandara
Aku tahu ini akan terdengar super nerdy, tapi ada sesuatu yang menyenangkan dalam angka dan arsitektur.
Sewaktu kecil, kita disuruh bermimpi dan berkreasi tanpa batas. Seringkali medianya nggak lebih dari secarik kertas HVS dan pensil warna yang kalau mau jujur, perlu ditekan pakai tenaga dalam supaya warnanya keluar. Aku ingat saat kelas 1 SD pernah menggambar sebuah istana dari film Barbie tontonanku, dan bilang pada gurunya, "Nanti kalau sudah besar, Anan bakal tinggal di sini sama Mama dan Papa. Istananya besar, nanti teman-teman sama Bu Guru bisa nginap sepuasnya di sana."
Mimpi tersebut tentu berubah seiring berjalannya waktu. Aku nggak bisa lagi mengajak Papa tinggal di istana impian setelah bercerai dan pindah alam, sementara Mama menyusul tahun lalu setelah bermukim di rumah sakit sebelum aku sempat mewujudkan tempat tinggal imajinerku. Teman-temanku pun kebanyakan sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing ketimbang memikirkan menginap di rumah teman SD. Itu pun syukur-syukur kalau aku masih diingat.
Namun, ada satu fakta membahagiakan: membangun istana bukanlah hal mustahil. Mimpi masa kecil itu bisa kubawa hingga beranjak dewasa, walaupun yah ... aku membuatnya untuk orang lain.
Here is the fun part of architecture: I can help someone's dream come true. Anggap saja aku Ibu Peri, tapi alih-alih membawa tongkat sihir, aku membawa laptop berisikan AutoCAD dan materi-materi kuliah.
Lebih tepatnya, aku membantu orang lain (alias mahasiswa) menjadi ibu peri bagi orang lain.
Biarkan aku meromantisasi pekerjaanku sebentar, ya, agar mengingatkan diri bahwa asistensi studi bentuk dan rancangan dari mahasiswaku selama sehari penuh ini merupakan pekerjaan mulia. Aku bahkan baru bisa bernapas ketika Pak Sahid, kaprodi arsitektur, memintaku memeriksa tempat rapat serta konsumsi besok.
Lupakan soal istirahat dan mengurangi tumpukan drama Korea, semua rencanaku mengecil menjadi satu kegiatan begitu pulang ke rumah: rebahan. Nana-the great pyreness yang jadi residen tetap di rumah sejak dua tahun lalu-langsung menggonggong begitu aku membuka pagar rumah.
Kalau dipikir-pikir, jadi peliharaan enak juga, ya? Nggak perlu berpikir urusan kerjaan, tagihan ini itu, jam tidur berantakan, atau mau tinggal di mana. Maybe the world looks easy for them.
Kira-kira peliharaan bisa merasa kesepian nggak?
Kuacak-acak bulu putih Nana, kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah. Andai Mama di sini, bisa kubayangkan beliau akan geleng-geleng protes. Namun, aku butuh kehadiran ekstra untuk mengisi rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
RomanceIni tentang dia yang terlalu lama tenggelam dalam kenangan. Ini juga tentang dia yang berjalan dalam ketakutan. Ini tentang mereka yang terlalu lama berkeliling, tak punya tujuan akhir. Namun tanpa rute, bisakah keduanya menemukan rumah untuk pulang...