Chapter 3

248 46 7
                                    

I forgot to upload this one. 🥲
Bur anyway, here you go. Let's proceed for a new chapter once a week yaaa~

 Let's proceed for a new chapter once a week yaaa~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---


Abimana

It seems I've been out of touch for too long in the dating world.

Itu penjelasan paling sederhana kenapa gue bingung sendiri waktu Ibu mengirim kontak baru ke WhatsApp gue dengan penjelasan: Tuh, dikasih Om Kalvin nomornya.

Gue menyimpan beberapa kontak dari Ibu, dan kebanyakan gue hubungin karena disuruh. Contohnya saja abang tukang sayur langganan Ibu dari zaman batu, penjahit langganan Ibu di Blok M, atau teman Ibu yang buka toko kue, dan Ibu suka memesan kue dan roti kalau nggak sempat masak.

Masalahnya, nomor kali ini bukanlah jejeran langganan Ibu, melainkan Anandara. Gue chat buat apa?

Bicara soal Anan, makan malam di rumah Om Kalvin menjadi pertemuan pertama sekaligus terakhir kami.

"Anan masih sendiri kok. Dia belum ada ngenalin siapa-siapa juga ke kita-kita." Begitu info yang gue dapatkan dari Om Kalvin. Yah, mungkin buat para orang tua kalau belum ada orang yang dikenalkan ke keluarga, berarti orang tersebut belum punya hubungan.

Yah, zaman dulu mungkin konsep backstreet belum lumrah.

Harus gue akui, obrolan pertama (dan terakhir) antara gue dan Anan lumayan menyenangkan. Topik pembicaraan kami lebih mengalir di dalam mobil ketimbang di meja makan. Dia jauh lebih ekspresif ketimbang dugaan gue, terutama sewaktu membahas arsitektur.

"Orang yang sayang sama diri sendiri dan masa depan pasti tahu kalau rumah itu investasi terbaik. Because it's a place where you will spend the rest of your life. That's why I like my job. Gue sekarang memang nggak ngambil project desain lagi kayak dulu, tapi gue senang karena bisa mengajarkan orang-orang seberapa pentingnya arsitektur itu."

Somehow, I can feel how passionate she is with what she's doing, and it reminds me of myself back in the days.

Masa-masa ketika gue bisa menikmati pekerjaan gue, bukan karena ingin menyibukkan diri.

Gue nggak suka macet, tapi kalau waktu itu Jakarta lebih macet, mungkin gue nggak akan protes. Soalnya, macet berarti obrolan kami bakal lebih panjang.

Jadi, mendapat nomor Anan nggak akan gue sebut sebagai sebuah hal buruk. Masalahnya, gue harus apakan nomor ini? Chat seperti apa yang perlu gue kirim? Minta foto rumah dia? Basa-basi kalau gue juga butuh mendesain rumah gue yang nggak terurus? Atau apa?

Ibarat besi, gue kayaknya bukan hanya berkarat, tapi sudah melebur.

Kurang lebih lima hari sejak kontak tersebut gue dapat dari Ibu, nomornya hanya berakhir jadi kontak baru di handphone gue. Beberapa kali-termasuk sekarang-gue pandangi room bersih tanpa bubble chat, berpikir apakah sebaiknya gue menghubungi.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang