Chapter 5

208 44 4
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Abimana

Kalau sebelum ke sini gue berpikir bakal menghabiskan cuti gue di rumah dan rebutan nonton televisi sama Dwi, ternyata kegiatan gue nggak semembosankan perkiraan awal gue. Yah, bisa dibilang liburan kali ini nggak seburuk itu.

Apa ini bisa disebut jadi character development?

Yang pasti, gue tahu alasan cuti gue kali ini nggak kosong-kosong amat: Anandara.

Gue sudah membeli oleh-oleh sekaligus titipan teman-teman gue kemarin, jadi nggak heran sewaktu gue pamit mau keluar, Ibu nanya, "Kamu mau beli apa lagi?"

Belum menjawab, adik gue yang super sok tahu sudah lebih dulu membalas, "Mau cari jodoh itu, Bu. Biarin aja."

"Bocah ngomongnya jodoh mulu. Kebelet kawin kamu?" Gue meledek, tapi yang ada Ibu menepuk punggung gue.

"Nikah," koreksinya sambil geleng-geleng. "Emang mau ke mana, Mas Abi?"

"Nggak ke mana-mana kok, Bu. Cuman mau ketemu Anan aja, janjian kemarin."

Percayalah, gue menjawab seadanya. Kata-kata gue persis begitu. Tapi, Ibu justru mengangguk puas, kemudian melepas gue setelah bilang, "Oh, ya udah kalau gitu. Mainnya jangan satu atau dua jam aja. Ajak Anandara ngobrol tuh."

Apa pun yang dipikirkan Ibu dan Dwi dipastikan terlalu mengkhayal. Agenda gue dan Anan sesederhana makan bakmi doang. Itu pun janjiannya bermula dari sebuah percakapan sesederhana kami ngobrolin makanan sekitaran Jakarta, dan Anan setengah menjelma sebagai sales salah bakmi favoritnya.

"Lo harus cobain deh, Bi. Beneran. Sayang banget kalau lo balik tapi belum makan Bakmi Bilik Cecap. Enak banget!"

Jujur sih, gue bukan tipe penggemar mie. I do eat that once a while, but I'm not particularly in love with it. Tapi, kalau bakmi bisa membuat gue ketemu dan ngobrol lagi bareng Anan, yah bisa dibicarakan.

Tujuan kami nggak muluk-muluk, ke Kelapa Gading doang. Or that was the initial plan. Gue baru saja sampai ke rumah Anan dan melihatnya keluar dengan setelan baju kasual, juga rol besar yang melilit poninya.

"Bi, sorry. Ini sorry banget. Gue tahu udah janji, tapi ini dadakan gue tadi ditelepon sama kaprodi, jadi ...."

Jadi apa?

Jadi gue ikut ke kampusnya di Tangerang untuk menyusup ke kuliah umum anak arsitektur. Kebetulan sekali, kali ini gue mengenakan kemeja khaki yang melapisi kaus putih, ditambah celana pensil dan sepatu kets putih. Nyamar juga bisa. Paling ngaku jadi mahasiswa semester dua digit kalau muka dikira tua.

"Masih cocok kan jadi mahasiswa?" canda gue sewaktu kami sampai.

Anan tersenyum sambil geleng-geleng. "Yah, boleh lah. Walaupun kayaknya kelihatan lebih tua dibanding mahasiswa-mahasiswa gue."

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang