Chapter 2

381 68 11
                                    

Yak, mohon maap bundabundi sekalian, lebih dari seminggu (karena lupa sekalian ngerjain chapter 3 di gwp). But anyway, here we are. Jadi, selamat membaca 🖤

 Jadi, selamat membaca 🖤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Anandara

Om Kalvin lumayan banyak tanya, tapi aku nggak menyangka sewaktu tiba, pertanyaan yang kuterima justru: "Kamu betulan masih sendiri, kan, Nan?"

Tadi berdua sih sama abang ojol.

Maunya jawab begitu, andai saja aku bisa pura-pura nggak tahu soal maksud pertanyaannya.

Sebenarnya, percakapan soal pasangan sudah lumayan sering kudapatkan dari pamanku. Om Kalvin dan Ibu bisa dibilang mirip secara kelakuan. Mungkin itu juga yang membuatku mengiakan tiap ajakan beliau untuk datang ke rumah, karena aku merasa ada kepingan-kepingan Mama yang kutemukan di sini.

"Papa, ih. Baru datang masa tiba-tiba nyelondong ditanya begitu?" Istrinya, Tante Sani, menepuk pundak Om Kalvin, kemudian tersenyum ke arahku. "Ayo sini, Nan. Masuk dulu. Si Om biarin aja."

Aku hanya bisa tertawa, lantas mengikuti Tante Sani ke dapur sekaligus meletakkan kotak-kotak J.Co bawaanku. Aku kira ini hanyalah makan siang biasa, tapi nyatanya hidangan di sini lumayan banyak, hampir seperti mau mengadakan arisan.

Apa memang ada arisan, ya?

"Ibu Dosen akhirnya datang." Suara familier itu menyapa, membuatku langsung berbalik ke arah pintu dapur dan menemukan sosok pria jangkung berkemeja batik merah. Josh.

"Galak banget tuh muka," katanya lagi begitu aku menyipit ke arahnya. Dia mendekat, berdiri di sampingku kemudian merangkulku. Tubuhku terasa begitu kecil. Bukannya harusnya pria berhenti bertumbuh di usia 21, ya? Kenapa manusia satu ini jadi lebih tinggi?

"Oh, masih ingat sama sepupunya ternyata? Kirain udah lupa, sampai lo nikah aja gue nggak tahu," sindirku.

Dia tersenyum tengil. "Kan udah gue kasih undangan."

"Kasih undangan sama baju. Yang ngasih juga Kira, ya. Bukan lo," balasku sewot.

Josh sempat menelepon sih setelah aku mengirimkan foto kotak kain pemberiannya, lalu menjelaskan bagaimana bisa dia akan menikah tiga bulan depan. Dia bilang, "Tadinya gue hampir nyerah, Nan. Seriusan. Terus pas gue pameran di San Fransisco, gue awalnya bercanda mau jadi suami dia. But then she actually said: 'I thought you'd never asked.' Emang nggak terduga banget."

And the story went to 'she liked me all along since the start', semacam tipe cerita romansa yang bakal membuat pembacanya menendang-nendang udara saking gemasnya.

Yah, aku nggak sampai begitu sih. Walaupun ada rasa iri juga. Kok bisa percintaan orang menggemaskan begitu? Sementara aku .....

Ah, sudahlah.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang