Hehehe. Baru apdet :'')))
---
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial.
Itu kalimat yang paling aku ingat pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan di bangku SD. And it's true, to some extent. Guruku nggak pernah bilang kalau ada kalanya manusia dipaksa untuk hidup sendirian, dan seringkali pilihannya hanya satu: mencoba hidup dengan keadaan tersebut.
People come and go, they said. But they go without notice. Seringkali hal tersebut terjadi tanpa persiapan. Aku ingat sewaktu kedua orang tuaku memilih berpisah, aku mengira Papa hanya bekerja di luar sedikit lebih lama dari biasanya. Lantas tiga hari berubah menjadi satu minggu, satu bulan, kemudian tiga bulan kemudian beliau kembali untuk mengajakku bermain, tapi nggak pernah tinggal di rumah.
Butuh waktu bagiku untuk memahami apa artinya perceraian. Waktuku dan Papa makin sedikit, sampai akhirnya aku benar-benar dipisahkan darinya begitu di tahun berikutnya Papa meninggal. Harus kuakui, kehilangan sosok ayah cukup berpengaruh dalam hidupku. A dad supposed to be their daughter's first love, no? He supposed to teach me what a good man was.
Kekosongan satu orang di rumah kemudian di isi oleh Oma setelah aku masuk SMP. Rasanya berbeda, tentu saja, tapi rumah jadi lebih ramah.
Lewat Oma, aku belajar banyak hal. Tapi jika harus menyebutkan satu, aku akan bilang bahwa darinya aku memahami bahwa hidup sendirian nggak mengenakkan. Oma sama sekali nggak menikah. Kala itu, kukira bahwa kehidupan Oma nggak seburuk itu, dan aku mau-mau saja menjalaninya. But it wass not as simple as it seemed.
"Kalau ada satu hal yang Oma sesali, mungkin nggak menikah salah satunya." Oma pernah bilang begitu padaku.
"Tapi punya pasangan juga belum tentu bikin bahagia kan, Oma? Lagian Oma juga punya aku dan Mama. Oma nggak sendirian." Aku sempat mendebat kala itu. Yang nggak kuketahui, ternyata memang berbeda.
Pernikahan membuat kita belajar untuk hidup bersama orang lain, menurunkan ego serta beradaptasi dengan pemikiran orang lain.
Sewaktu Oma sakit, kebanyakan keluarganya seperti buta mendadak, memilih menutup mata dan mengabaikannya. Satu-satunya acara yang mereka datangi hanyalah saat pemakaman.
"Di dunia ini, darah pun nggak akan bisa memastikan orang itu untuk baik sama kita, Nan," kata Mama. "Kalau sudah begini, yang bisa kamu andalkan hanya Tuhan dan orang yang kamu percaya. Cari orang yang bisa mendukung kamu saat susah maupun senang, Nan. Suatu saat, kamu akan butuh orang seperti itu."
Apa aku membutuhkan orang seperti itu sekarang?
"Lo beneran nggak apa-apa ditinggal sendiri?" tanya Jenny, dokter poliklinik kampus sekaligus teman seangkatanku dulu, satu kelompok sewaktu OSPEK. Begitu satpam menemukanku pingsan dan tergeletak di lantai, aku langsung dilarikan ke klinik. Jenny membawaku ke rumah sakit karena aku kelewat lemas, dan aku pun masuk ke unit rawat inap. Aku diminta melakukan beberapa tes, dan akan dilanjut besok pagi karena beberapa lab sudah tutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
RomanceIni tentang dia yang terlalu lama tenggelam dalam kenangan. Ini juga tentang dia yang berjalan dalam ketakutan. Ini tentang mereka yang terlalu lama berkeliling, tak punya tujuan akhir. Namun tanpa rute, bisakah keduanya menemukan rumah untuk pulang...