Dah pas seminggu kan ya? Nah, yuks bab baru lagi 😚
-
Anandara
Menghadiri pesta pernikahan selalu menyenangkan, sampai kita berada di usia yang menurut para orang tua sudah harus dibombardir dengan, "Kamu kapan nyusul?"
Di hari penting dan membahagiakan ini, seharusnya orang fokus pada mempelai ketimbang seorang penerima tamu yang kebetulan masih belum punya gandengan sepertiku. Meski begitu, aku tetap perlu tersenyum sekalipun telingaku terasa pekak mendengar para om dan tante bertanya kapan aku akan menyusul Josh, diikut wejangan seperti, "Perempuan kalau kelamaan nikah juga nggak bagus," dan semacamnya.
Tanpa dibilang pun aku tahu kok. Makin tua seorang wanita, makin berisiko juga proses persalinannya nanti. It's not like I don't want to have a family. I do. Sayangnya, memiliki keluarga nggak semudah membalik telapak tangan. Aku bukan hanya perlu mengurus diri sendiri, tapi juga orang lain.
Mending kalau orangnya ada.
But speaking of someone, maybe there is one. Sebenarnya, aku ragu bisa menyebutnya begitu. Lagi pula aku bukan mendapat lamaran atau semacamnya. Hanya sebatas pengakuan—yang kalau boleh jujur, cukup mengejutkan—dari Abi.
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali ada yang menyatakan perasaannya padaku. Sewaktu sekolah? Kuliah? Aku lupa. Aku terlalu sibuk memikirkan Mama untuk bisa membagi waktu bersama orang lain. Hingga aku sadar memberikan ruang pada satu orang saja akan menyisakan kekosongan yang begitu besar ketika sosok itu pergi.
Terlalu lama sendiri juga membuatku bingung harus menanggapi pengakuan Abi seperti apa. Pada akhirnya aku hanya bisa diam, Abi pun melakukan hal yang sama, dan ... itu saja. Sewaktu Abi mengantarku pulang ke rumah, dia berkata, "Anggap aja gue nggak ada ngomong apa-apa soal tadi, Nan. Sorry if that bothers you."
Dua hari sudah berlalu, dan kami masih diam. Nggak ada chat atau telepon. Agenda kami buat mengelilingi Jakarta sudah selesai sih, berhubung ada pernikahan Josh. Awalnya kami janjian supaya bertemu, tapi setelah apa yang terjadi, kurasa perjanjian itu batal karena force majeure.
Aku memutuskan berangkat subuh-subuh ke hotel tempat Josh, Neva, serta para partisipan acara pernikahan menginap. Dari sekitar pukul 6 pagi make-up artist serta hair stylist sudah mulai bekerja. Sebagai penerima tamu—bersama Niana, sepupu Neva— aku sudah harus ada di lokasi lebih dulu. Aku mengantisipasi kedatangan Abi, tapi sampai acara pemberkatan berganti jadi resepsi pun, batang hidung cowok itu masih belum kelihatan. Padahal aku sempat bertemu Dwi dan Tante Laksmi.
Apa dia nggak jadi datang? Apa dia langsung balik ke pertambangan? Atau dia malah menghindar—
"Amplopnya taruh di sini aja nih?"
Aku yang semula tengah duduk dan melamun langsung menoleh ke arah suara familier itu, menemukan sosok yang sedari tadi kupikirkan benar-benar muncul. Abi datang. Dia benar-benar datang. Dia mengenakan kemeja hitam bergaris merah, bagian lengannya digulung sampai ke siku, juga rambut yang ditata rapi ke belakang. Rasa lega hampir menyelinap, tapi aku sadar dia nggak benar-benar menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
RomanceIni tentang dia yang terlalu lama tenggelam dalam kenangan. Ini juga tentang dia yang berjalan dalam ketakutan. Ini tentang mereka yang terlalu lama berkeliling, tak punya tujuan akhir. Namun tanpa rute, bisakah keduanya menemukan rumah untuk pulang...