Semua butuh waktu

8 2 1
                                    

Pagi ini Altiar sedang libur kerja, bukan karena peraturan yang ada di kantor melainkan atas perintah ayahnya sebagai pemilik perusahaan.

"Selamat pagi sayang, aku bikin teh nih buat kamu. Ada mendoan juga loh, eh kamu mau sarapan sekarang gak? Aku udah masak nasi goreng tau." seru Alura pada Altiar yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

Perempuan yang membawa nampan berisi minuman teh dan satu piring mendoan ke hadapan suaminya.

Altiar menatap Alura yang berubah sejak tadi malam. Perempuan itu tampak begitu perhatian padanya. Ya, ia tahu jika hal tersebut sudah sewajarnya karena mereka adalah pasangan suami-istri.

"Pagi juga, sayang. Kamu tumben berubah tiba-tiba ke aku. Biasanya jam segini kamu suruh bi Ratih bikin minuman teh buat aku." jawab Tiar, ia tak ingin dikasihani karena perasaannya yang belum terbalaskan.

Alura ikut duduk disamping laki-laki tersebut. Dirinya menatap lekat mata Altiar.

"Karena sekarang aku tau, yang kemarin kamu gak pulang semaleman itu karena kamu sakit dan akhirnya dibawa rumah sakit. Aku juga gak tau kenapa aku tiba-tiba kayak gini, tapi rasanya aku takut kehilangan kamu." ucap Alura dengan suara seperti sedang sedih.

Altiar menghela nafas sabar. Kepalanya menoleh ke arah Alura. "Tau dari Bi Rina? Lagian kenapa kalau aku sakit? Kamu khawatir sama aku? Khawatir kenapa, Ra? Kan yang ada di depan mata kamu sekarang itu selalu Elang, bukan Altiar. Kamu kayak gitu bukan sepenuhnya menganggap aku sebagai diriku sendiri." tanggapan Altiar sungguh diluar dugaan Alura.

Perempuan itu menggeleng kuat. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, seperti tak mampu untuk menjelaskan bahwa dirinya kini mulai mencintai Altiar.

"A-aku beneran anggap kamu sebagai Altiar, bukan Elang. Aku emang gak akan lupa sama dia, tapi setidaknya aku bisa jatuh cinta sama kamu, Al. Ya, mungkin kamu masih gak percaya sama apa yang aku lakuin hari ini. Tapi itu murni dari hati aku sayang sama kamu." Alura menjelaskan dengan suara yang serak disertai air mata yang lolos membasahi pipinya.

Altiar terdiam kaku. Perlahan ia mulai menatap mata Alura. "Kalo emang itu bener, peluk aku, Ra. Peluk aku seerat yang kamu bilang tadi. Tapi jangan terlalu romantis ya, soalnya ada dua tuyul diatas tangga. Nanti mereka iri lagi ngeliatnya."

Begitu Altiar menyebut dua tuyul diatas tangga itu membuat Alura menoleh ke belakang untuk melihat siapa orangnya.

"Hahaha, lucu deh. Udah, lanjutin aja romantisnya jangan pikirin kita. Ya nggak, bang?" ujar Reyva tertawa sambil menoleh ke kakaknya.

Arvel pun mengangguk. Tampak lelaki itu memakai kemeja kotak hitam putih dengan celana panjang berwarna cream. Tak lupa pula, Arvel juga memakai kaos serta topi berwarna putih dan kacamata bulat yang dapat terlihat jelas matanya.

Reyva masih senyum-senyum melihat kedua orangtuanya yang mendengus malas. Gadis berumur 17 tahun tersebut memakai sweater berwarna hijau muda bergambar boneka beruang.

"Kalian ngapain diatas, hah?" tanya Alura dengan nada sinisnya.

Reyva menahan rasa ingin tertawa. Sementara Arvel hanya menyunggingkan senyum tipisnya.

"Nonton lah, ngapain lagi, ya gak bang?" Reyva menatap kakaknya dengan ekspresi lucu.

"Yaudah, kalo gitu Arvel mau ajak jalan Nafa dulu ya, mah, pah." tanpa basa-basi Arvel segera pamit menuruni tangga kemudian pergi begitu sesudah salim pada orangtuanya.

"Idih, abang aneh." lirih Reyva sinis.

•••••••••

Sekarang Arvel sudah berada di depan rumah Nafa. Ya, mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak 3 tahun yang lalu. Tetapi, memang baru 1 tahun ini mereka sadar jika keduanya satu kampus.

Dunia Arvel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang