Salah paham

9 2 8
                                    

Malam ini Arvel menginap di sebuah kontrakan samping rumahnya Nafa. Tetapi lelaki bernama Arvel itu kini masih berada di rumah Nafa.

"Aku boleh minta sesuatu gak ke kamu?" tanya Arvel yang tengah duduk di sofa ruang tamu bersama Nafa.

Kedua orang tua Nafa berada di ruang keluarga sedang menonton acara di televisi.

"Minta apa?" tanya Nafa, ia baru saja diceritakan oleh Arvel, bahwa lelaki tersebut memiliki rasa sakit di bagian ulu hatinya.

Arvel menatap Nafa begitu lekat. "Tapi jangan marah ya?" Belum apa-apa Nafa sudah memotong pembicaraannya.

"Apa?"

"Aku pengen cium kamu, boleh?"

Deg.

Nafa terkesiap sembari langsung menatap Arvel dengan tajam. Kemudian ia memberi jarak dari Arvel.

"Gak! Gak! Gak! Apa-apaan sih .... Dari awal kenal perasaan gak pernah ya gue liat lo minta kayak gitu. Maksud lo apa? Lo udah gila ya? Mentang-mentang mau tunangan sama gue, lo dengan seenaknya minta kayak gitu." ketus Nafa yang tak dapat menahan emosinya hingga ia menggunakan bahasa bukan seperti biasanya.

Arvel merasa terkejut, namun ia tetap menjawab dengan tenang. "Tapi maksud aku bukan-" Belum sempat selesai berbicara, Nafa tiba-tiba menampar Arvel cukup keras sampai membuat Arvel meringis kesakitan.

"Ada apa, Nafa?" tanya ayahnya Nafa.

Nafa menoleh, "ini, Yah. Dia mau ngelakuin yang gak bener ke aku." Kalau Nafa sudah bilang pada Ayahnya, maka Arvel tidak bisa berbuat apa-apa selain menjelaskan.

"Apa benar, Arvel?" Dari sorot mata sang Ayahnya Nafa saja Arvel sudah tahu jika beliau sedang menahan rasa amarahnya.

"Maaf om, mungkin Arvel terlalu tidak sopan. Arvel tadi cuma tanya ke Nafa, apa aku boleh cium dia atau nggak. Maksudnya bukan cium yang aneh-aneh itu bukan, tapi mau cium tangan dia. Kan selama ini Arvel belum pernah cium tangan calon tunangan sendiri. Ya kalau memang gak mau, Arvel gak maksa. Tadi kan Arvel cuma tanya, karena emang ada sesuatu yang lagi terjadi sama Arvel sih. Tapi kalau Nafa nya gak mau ya ... Masa Arvel harus maksa." jelas Arvel membuat kedua orang tua nya Nafa menghela nafas lega.

Sementara Nafa, ia kesal pada Arvel. "Gak jelas gitu jadi orang, ngomong apa-apa selalu setengah-setengah! Kayak orang gak punya-"

"Nafa, Sudah. Jangan memperpanjang kesalahpahaman kalian. Kasihan Arvel, tadi kamu tampar padahal dia hanya bertanya tentang mencium tanganmu. Ya memang belum halal jadi belum diperbolehkan, tapi Ayah sama Bunda tidak mengajari kamu untuk menolak dengan tidak menghargai orang lain." ucap Bunda nya Nafa.

Nafa yang dinasehati, tetapi Arvel yang merasa bersalah. "Nggak, Tante. Arvel yang salah bukan Nafa. Namanya perempuan memang harus menjaga dirinya se-aman mungkin." sahut Arvel.

"Ck, depan Ayah sama Bunda sok kalem banget padahal aslinya bawel banget ngelebihin cewek!" umpat Nafa dengan lirih.

"Arvel pamit ya, Om, Tante." pamit Arvel yang berlalu tanpa mengucapkan satu kata pun pada Nafa.

••••••••

Pukul 3 malam, Nafa sudah terlelap dalam mimpinya. Berbeda dengan Arvel yang sudah terbangun karena mendengar suara langkah beberapa warga sedang melakukan ronda malam.

'Arvel akan mati!'

'Arvel harus mati!'

'Anak lelaki itu! Tidak boleh masih bernyawa!'

'Bawa dia ke alam kita! Cepat! '

'Cuih! Bunuh saya! Tapi setelah ini, kalian gak boleh sentuh Nafa!!'

'Cekik dia!'

'Argh! Akh ... Ak--'

"Arvel!!" jerit Nafa terbangun dari mimpi.

Karena mendengar suara jeritan dari kamar Nafa, Ayah serta Bunda nya perempuan itu masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa, Sayang? Kamu mimpi buruk apa? Arvel kenapa?" tanya sang Bunda.

"Sebentar, Ayah panggilkan Arvel untuk kesini. Soalnya Ayah sama Bunda dapat panggilan ke Jawa main ke rumah Kakek." tutur Ayahnya lalu keluar dan menuju kontrakan sebelah.

Selang satu menit kemudian, Bunda dan Ayahnya Nafa berpamitan untuk pergi ke Desa. Perempuan bernama Nafa itu pun mengangguk paham serta masih terduduk diatas kasur sembari menatap satu figura diatas nakas yang terdapat fotonya bersama Arvel.

Ciett ...

Begitu pintu terdengar terbuka, Nafa lantas memeluk seseorang yang datang dari balik pintu kamarnya tersebut.

"Arvel! Jangan tinggalin Nafa sendirian ya?" Sambil memeluk, Nafa meneteskan air matanya menangis.

Lelaki bertubuh tinggi yang menggunakan kaos hitam polos itu mengusap kepala Nafa dengan lembut. "Iya-iya, Nafa ... Jangan nangis, udah-udah aku disini sama kamu." kata Arvel menenangkan Nafa.

"Tad-tadi ada yang bilang Arvel udah gak ada ... Terus Arvel bilang gak papa dibunuh asal orang-orang jahat itu gak sentuh Nafa." Sambil sesegukan tangis, Nafa melepaskan pelukannya dari Arvel.

Lelaki itu kemudian menghapus air mata pada pipi Nafa. "Kan itu cuma mimpi, Nafa. Kalo ada lelaki yang tulus sama kamu pasti akan melakukan hal seperti itu, tapi yang kamu lihat kejadian itu cuma mimpi. Buktinya aku masih ada disini, baru peluk kamu juga." Dengan suara lemah lembut Arvel berusaha meyakinkan seorang Nafa.

Ya begitulah, Nafa di luar orang-orang yang mengenalnya tidak tahu jika ia bisa seperti anak kecil kalau berurusan dengan seorang Arvel.

"Tapi bener kan kalau kamu gak papa? Soalnya tadi berasa nyata banget."

Arvel tersenyum mengerti. "Iya beneran, aku gak papa. Karena udah mau adzan Subuh, kita sholat berjamaah di Mushola, yuk?" ajak Arvel.

Seketika Nafa kembali tersenyum tenang. "Kamu kenapa sih, baik banget? Padahal sering aku ledekin, marahin, dan aku biarin tapi kamu kok sabar banget sih." cerocos perempuan tersebut.

Tampak seorang Arvel tersenyum sembari menunduk menatap Nafa.

"Aku juga gak tau. Rasanya kayak kalo udah sayang gak bisa jadi jahat atau sesekali berniat nyakitin."

"Ini sih definisi keturunannya Om Tiar, mah. Kalo udah tulus jadi kayak tulus banget, gitu. Mana dapetnya yang ketua geng motor lagi." cibir Nafa.

"Ya ... Apa kamu malu punya pasangan anak geng motor?" Pertanyaan Arvel membuat Nafa terkejut. Namun perempuan itu menyembunyikan rasa kagetnya dari Arvel.

Arvel melangkah keluar dari kamar Nafa. "Kalau kamu gak bahagia, setidaknya aku udah berusaha mempertahankan hidupku demi kamu. Aku masih memikirkan Ayah, Bunda sama Reyva."

"Sebenarnya semalem kamu kenapa sih?" Sambil mengikuti langkah Arvel yang keluar dari kamarnya, Nafa mulai membahas hal semalam.

Sampai di ruang tamu Arvel berhenti melangkah. "Gak papa. Cuma sakit di bagian ulu hati, yang sembuhnya kalau aku cium tangan kamu. Tapi aku gak mau, karna aku tahu kita belum diperbolehkan."

Nafa mengernyitkan keningnya bingung. "Sekarang masih sakit?"

"Masih lumayan. Tapi jangan khawatir, aku baik-baik aja." ucap Arvel lalu melangkah keluar dari rumah Nafa tanpa berpamitan.

Dunia Arvel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang