Jen santai berbaring di sofa seraya menatap layar kaca. Ia memangku dua kantong kripik dan melahapnya secara bergantian. Di lain sisi; pada ruang makan, Boy justru serius membaca novel keluaran United States yang akan Jen teliti sebagai bahan tesis. Di sekitar Boy juga bertumpuk buku-buku lain yang Jen bawa dari rumah.
"Jen Nera," panggil Boy.
Jen menoleh. "Apa?" sahutnya.
"Sini, deh. Kita bahas seputar novel ini." Boy melambaikan tangan - meminta Jen mendekat.
Jen mengembuskan napas panjang. Boy lebih antusias mengerjakan skripsinya ketimbang dirinya sendiri. Dengan langkah terseret, ia pun menghampiri lelaki berkaos putih polos itu.
"Kenapa?" tanya Jen.
"Jadi tokohnya cuma mendapat dukungan dari saudara perempuannya. Si ibu tahu tapi berpura-pura abai, sementara ayahnya merupakan seseorang berwatak konvensional dan disiplin," ujar Boy. Raut lelaki itu serius seraya menatap ke arah buku novel.
Jen Nera memandangi tiap inci fitur wajah Boy. Untuk ukuran lelaki, bulu mata Boy tergolong lentik. Sudah begitu tulang hidungnya besar dengan ujung yang lancip. Pada garis bagian bawah matanya, terdapat aegyo-sal alias gumpalan lemak cantik yang membuat wajahnya seakan terus tersenyum.
Muka Boy juga mulus tanpa jerawat dan facial hair; lelaki itu sangat imut, cocok menjadi seorang Idol. Dan - kalau Jen Nera amati lagi; kulit Boy yang semula kecokelatan kini perlahan-lahan semakin memutih. Bersih bak susu.
"Kamu dengerin nggak, Jen?"
Pertanyaan dari Boy membuyarkan lamunan Jen, ia mengerjap seraya mengalihkan pandangan. "Denger!" dalihnya.
"Jadi bab dua tesismu mau pakai teori apa?" selidik Boy.
"Masih bingung," kata Jen sekenanya. Ia menyodorkan sebuah buku, Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality, pada Boy. "Kalau pakai teori Gayle Rubin, gimana?"
Boy tersungging. "Bisa. Pada buku ini dibahas kalau masyarakat menciptakan strata seksual yang mengatur bagaimana seharusnya manusia berperan tergantung jenis kelaminnya."
"Kamu sudah baca habis semua buku yang aku bawa?" Jen sedikit keheranan
Boy mengangguk. "Isinya menarik," jawabnya. "Aku juga sudah baca ini." Ia menunjukkan buku tebal berjudul British Studies; seputar anatomi, struktur, dan kehidupan masyarakat Inggris, yang Jen saja malas baca sampai tuntas.
Jen kemudian tersadar - Boy is such a nerds.
Ponsel Jen tiba-tiba berdenting; ia lantas memeriksa isi pesan yang masuk, dari Cecilia.
Ekspresi Jen seketika berubah. Cecilia menawarkan job BO dengan bayaran lumayan pada Jen. Namun wanita itu harus berangkat sekarang juga. Lokasi hotelnya juga lumayan dekat dari jalan Basuki Rachmat - tempat ia berada.
Boy menyadari perubahan sikap Jen. "Kenapa?" tanyanya.
"Ada tawaran kerja dari temenku," sahut Jen.
Boy membisu. Sesungguhnya itu bukan hal yang ingin ia dengarkan sekarang. Fakta bahwa Jen Nera bekerja menjajakan tubuh adalah kenyataan pahit yang berusaha Boy terima dengan lapang dada. Ia tak berhak mengatur kehidupan wanita itu, Boy bukan siapa-siapa.
"Kamu akan mengambilnya?" Boy tertunduk - berpura-pura fokus membaca kata demi kata buku novel.
Jen Nera bangkit dari duduk. "Iya. Bayarannya lumayan. Sebentar lagi sudah waktunya bayar uang semesteran."
Boy menahan napas.
Andai Jen jeli, ia bisa melihat rahang Boy yang berubah mengeras karena menahan gusar. Tapi sayang, wanita itu terlalu sibuk merapikan barang-barangnya ke dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLY (21+)
RomanceA Dark Romance Story About Polyamorous and Open Relationship. Adult Only | 21+ Jen Nera atau Je bekerja sebagai wanita BO demi tuntutan hidup. Ia lalu bertemu dengan Boy, lelaki berdarah Korea Selatan yang memikat hati. Dalam waktu singkat, Boy berh...